“Mita lebih baik istirahat, nak. Mama takut kamu lupa seperti kemarin.”
Sweater biru gelap dirapatkan sampai ujung jari. “Dih mama, Mita sudah lebih baik lagian bosan memandangi kasur plus perlengkapannya itu.” Mita mencibir mendribel bola basketnya ke lantai. “Tapi jangan kelamaan ya!” Kontan Mita langsung mengecup pipi sang mama berjalan menuju pintu pagar.
Mita duduk bersender di kursi panjang yang terdapat di lapangan komplek. Satu per satu orang berlalu-lalang dan Mita kembali hendak melempar bola ke ring tetapi pikirannya teringat Lia. Apakah dia masih marah? Bukannya kalau marah dia paling lama lima jam tapi... sekarang kok seharian. Mita membuang bola basket asal betapa bodohnya ia baru sadar kalau sifatnya akhir-akhir ini tidak perduli. Terdengar suara mengagetkan, Mita mengenali suara ini. “Aku capek Mit, sepertinya aku bukan sahabat terbaik kamu. Maaf kita harusnya jalani sendiri dulu bila itu sudah lebih baik barulah persahabat akan datang lagi.”
“Lia, bukan kok lo...” Mita bersuara mengejar Lia yang kian menjauh badannya masih terlalu lemah untuk berlari, ia ternunduk di aspal. “Aduh, kenapa serumit ini?”
Sebuah balon warna-warni masih utuh tanpa udara oksigen diulurkan di depan Mita. Mita mengambilnya ragu.
“Wahyu?”
“Punya nyali juga buat tiup balon nona.” Wahyu menggerlingkan matanya.
“Eits, sok keren. Emang gue naksir gitu sama mata belong lo.”
“ngeremeh! Asal lo tau mata gue lebih jelek dari mata semut hahahaha.”
Mita tertawa sambil memukul pelan pundak Wahyu. Sebuah lelucon konyol dari sang lelaki. Saking asyiknya bersenda gurau, mereka berdua tidak menyadari balon-balon itu sudah selesai ditiup.
Happy together with her, i wish always tulis Wahyu di satu balon dan menunjukkannya pada Mita. Gadis itu hanya mengangkat sebelah alis tanda tak mengerti.
“Nih spidolnya. Tulis apa yang ada dipikiran lo terserah apapun mau mimpi, kemarahan, sedih atau berkesan lalu lepaskan dan terbangkan balonnya.”
Mita berpikir keras hal apa yang pertama ia tulis di balon ini dengan berat hati akhirnya... i know this wrong but the moment want remember , Friendship is over , i’m sorry... awalnya memang Wahyu menduga Mita akan menuliskannya di tiga balon saja tetapi gadis ini terlalu rapuh semakin banyak balon-balon yang sudah ia tulis dan semakin banyak pula kumpulan balon warna-warni beterbangan di udara.
“Mita!” Wahyu tidak tahan lagi dan segera mengambil spidol dari tangan Mita. Namun entah sejak kapan, butiran bening gadis itu tertangkap oleh pantulan cahaya senja. Belum sempat menyikut air matanya, Wahyu memeluknya erat hingga bisa mendengar jelas degup jantung di antara keduanya membiarkan ia larut dalam perasaan.
“Begitulah kehidupan terkadang ada kalanya kita harus membaginya menanggung sendiri tidak akan merubah keadaan malah semakin membuat perasaan sakit. Makanya, dengan cara ini gue bisa lebih baik berbagi pada udara.”
“Yu, kenapa dia malah menjauh...?” suara Mita masih sengau karena menangis. Mengalih pernyataan Wahyu tadi.
Semuanya terlihat membeku. Lapangan yang tadinya ramai oleh orang yang berlalu-lalang sudah sepi langit pun berwarna orange kekuningan udara makin dingin. Tin, tin, tin!!! Mama membunyikan klakson mobil dengan kencang. Mita berlari kecil sambil membawa bola basket. “Thanks, gue akan menyuruh superman pensiun dini mengantikan lo hahaha.” Seru Mita menepuk pelan pundak Wahyu–lagi- Wahyu tersenyum.
Hingga akhirnya mama menjalankan mobil berbelok ke kanan memasuki perumahan. Sepeninggalan Mita, yang dilakukan Wahyu sekarang malah bergumam. Berarti, benar lo emang mulai mengingatkan... selalu seperti dulu tanpa gue minta... tiap kali ada saja kejutan buat gue... tapi saat lo berkata ‘kenapa’... gue bersalah, Mit, ujarnya dalam hati.
Kau tak pernah menyadarinya ada yang di lupakan saat kau merasa kesepian yaitu Ia yang Maha Kuasa dan Maha Segalanya. Dan ketika kau sadar hanya Ia yang peduli selalu mendengar keluh-kesahmu. Percayalah.
Cinta Allah dinyatakan dengan jelas dalam rangkaian kalimat kauniyah dan qauliyah-Nya. Dan sekiranya lautan dijadikan tinta untuk menuliskan semuanya, niscaya lautan itu akan mengering sebelum mencapai sepersepuluhnya. Tapi, kenapa Ia masih bertanya kepada kita? “Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu?” (QS. An-Najm [53]:55)
Kalau kau merasa itu belum cukup berarti kau telah jauh dariNya itu sebabnya kau pernah merasa rindu.
Maka barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, lakukanlah amal salih dan janganlah mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110)
(A)
Lampu kamar kubiarkan menyala,
walau jam sudah menunjukan pukul 23.15 WIB tapi aku masih asyik membenamkan
pikiranku pada benda miniatur komedi putar. Entah mengapa akhir-akhir ini
hobiku sering melamun. Aku memandang pantulan wajah sayu di cermin, wajah keceriaan
berganti menjadi wajah yang memikul permasalahan. Semuanya hilang tidak
bersisa. Kini aku menyadari udara dingin sudah menyergap tubuhku ternyata sejak
tadi hujan telah turun. Gemuruh petir mengagetkanku, aku bersembunyi di balik
selimut sangat takut.
Saat malam semakin larut, hujan juga semakin deras dan aku menjerit kesetanan membanting benda di sekitar. Hingga terdengar satu suara ketukan yang sangat keras. Seseorang dengan mata masih setengah tertutup berjalan mendekatiku.
Aku memeluknya.
“Kenapa belum tidur? Enggak apa-apa, semua akan baik saja, Mita.”
Tanganku gemetar menangis di pundak tegapnya.
“Gue takut suara itu.”
“Jangan takut lagi karna masih ada gue disini.”
“Wahyu, kau jangan pergi...”
Wahyu terdiam dan memalingkan wajahnya menatap ke arah pintu.
Ketika menyadari perkataanku barusan aku memberi jeda waktu supaya ia bisa mengatakan sesuatu hal juga. “Kau jahat!”
Wahyu masih tetap terdiam dalam pikiran. Aku berhenti menatapnya mendorong paksa tubuhnya untuk keluar dari kamarku. Lampu padam. Aku siap tertidur dengan pipi yang masih basah karena air mata dan pikiran yang kian kusut tanpa ujung.
Senyuman cowok itu memudar pandangan seketika-tapi sejurus kemudian ia duduk di kursi panjang taman lebih tepatnya duduk di sebelahku bersama anak perempuan. Kuberanikan diri untuk mengeser dudukku sengaja supaya tak terlalu dekat aku hanya ingin sendiri. Ia memasang wajah bingung menatap ke arahku. Diam-diam aku juga menatap matanya dalam- dalam tak kutemukan cahaya di mata itu, kekosongan yang di dapat. Apa yang bisa kuharapkan dari sosok cowok yang baru aku jumpai?
“Ada apa ya?” protesnya.
“Sorry”
“Bukan, maksud aku, kenapa kamu menatap begitu seperti menyimpan kesedihan.”
Aku menghela napas, “Kamu orang baru jangan sok tau.”
Dia berbalik badan menatap anak perempuan di sebelahnya dengan tatapan nanar. “Aku tau itu. Tak ada yang bisa paham tentang masalah hidup bahkan pada anak empat tahun.”
“Ini adikku usianya beda 18 tahun dariku, saat lahir ia sudah tidak mempunyai orang tua. Kami bisa bertahan hanya karna mimpi saja. Aku berjanji untuk terus membuatnya bahagia dengan cara apapun asalkan dia tetap merasakan bahagia.”
“Lebih baik mengejar kebahagian daripada harus mencari yang hilang dan tak akan pernah kembali lagi, bagian mana dalam dirimu yang kamu cintai? Maka bahagiakanlah dia.”
Hening.
Tatapan mataku mengeluarkan bulir air mata, terasa sesak di dada.
“Aku ini egois! Egois!”
“Menataplah ke depan, coba kau lihat itu!” serunya, ia menarikku hingga ke danau lalu mengendong adik perempuannya. Terlihat sekumpulan burung-burung kecil bertengger di dahan pohon dan pelangi terekam di balik tenangnya air danau.
“Simpan air matanya. Aku harap sekarang kamu mau cerita padaku.”
bersambung... suara mimpi (end)
Saat malam semakin larut, hujan juga semakin deras dan aku menjerit kesetanan membanting benda di sekitar. Hingga terdengar satu suara ketukan yang sangat keras. Seseorang dengan mata masih setengah tertutup berjalan mendekatiku.
Aku memeluknya.
“Kenapa belum tidur? Enggak apa-apa, semua akan baik saja, Mita.”
Tanganku gemetar menangis di pundak tegapnya.
“Gue takut suara itu.”
“Jangan takut lagi karna masih ada gue disini.”
“Wahyu, kau jangan pergi...”
Wahyu terdiam dan memalingkan wajahnya menatap ke arah pintu.
Ketika menyadari perkataanku barusan aku memberi jeda waktu supaya ia bisa mengatakan sesuatu hal juga. “Kau jahat!”
Wahyu masih tetap terdiam dalam pikiran. Aku berhenti menatapnya mendorong paksa tubuhnya untuk keluar dari kamarku. Lampu padam. Aku siap tertidur dengan pipi yang masih basah karena air mata dan pikiran yang kian kusut tanpa ujung.
***
Senyuman cowok itu memudar pandangan seketika-tapi sejurus kemudian ia duduk di kursi panjang taman lebih tepatnya duduk di sebelahku bersama anak perempuan. Kuberanikan diri untuk mengeser dudukku sengaja supaya tak terlalu dekat aku hanya ingin sendiri. Ia memasang wajah bingung menatap ke arahku. Diam-diam aku juga menatap matanya dalam- dalam tak kutemukan cahaya di mata itu, kekosongan yang di dapat. Apa yang bisa kuharapkan dari sosok cowok yang baru aku jumpai?
“Ada apa ya?” protesnya.
“Sorry”
“Bukan, maksud aku, kenapa kamu menatap begitu seperti menyimpan kesedihan.”
Aku menghela napas, “Kamu orang baru jangan sok tau.”
Dia berbalik badan menatap anak perempuan di sebelahnya dengan tatapan nanar. “Aku tau itu. Tak ada yang bisa paham tentang masalah hidup bahkan pada anak empat tahun.”
“Ini adikku usianya beda 18 tahun dariku, saat lahir ia sudah tidak mempunyai orang tua. Kami bisa bertahan hanya karna mimpi saja. Aku berjanji untuk terus membuatnya bahagia dengan cara apapun asalkan dia tetap merasakan bahagia.”
“Lebih baik mengejar kebahagian daripada harus mencari yang hilang dan tak akan pernah kembali lagi, bagian mana dalam dirimu yang kamu cintai? Maka bahagiakanlah dia.”
Hening.
Tatapan mataku mengeluarkan bulir air mata, terasa sesak di dada.
“Aku ini egois! Egois!”
“Menataplah ke depan, coba kau lihat itu!” serunya, ia menarikku hingga ke danau lalu mengendong adik perempuannya. Terlihat sekumpulan burung-burung kecil bertengger di dahan pohon dan pelangi terekam di balik tenangnya air danau.
“Simpan air matanya. Aku harap sekarang kamu mau cerita padaku.”
bersambung... suara mimpi (end)