27 Maret 2004. Hari ini aku dan Mita terakhir camping di puncak. Awalnya
aku ceroboh menghilangkan boneka ku. Mita mencari boneka itu sampai dapat, dia
juga ikut menghilang dan tersesat. Tuhan... aku sekarang tidak minta boneka itu
lagi, aku maunya Mita! Cuma dia sahabat yang baik. Aku tidak mau kehilangan
dia.
Lia menggeleng. Sakit. “Tidak. Mita sudah bahagia
bersama Wahyu.”
30 Maret 2004. Heii aku senaaang sekali Mita akhirnya ketemu tapi aku cemburu, dia punya teman baru cowok lagi. Namanya Wahyu. Hah! Aku juga iri sama Mita si Wahyu ngasih boneka. Dan Mita memang sahabat baik boneka itu di berikannya padaku sebagai ganti boneka yang hilang. Makasih, aku sayang Mita. Seluruh tubuh Lia seperti di tancap ribuan paku, dia menggigit bibir bawahnya membaca berulang-ulang di kata ‘Wahyu’. Lia berbalik untuk pergi, tapi kemudian berhenti dan memandang lintasan pesawat. “Apakah harus aku tunda dulu,” serunya. “Untuk berkata maaf dan memperbaiki lagi.”
30 Maret 2004. Heii aku senaaang sekali Mita akhirnya ketemu tapi aku cemburu, dia punya teman baru cowok lagi. Namanya Wahyu. Hah! Aku juga iri sama Mita si Wahyu ngasih boneka. Dan Mita memang sahabat baik boneka itu di berikannya padaku sebagai ganti boneka yang hilang. Makasih, aku sayang Mita. Seluruh tubuh Lia seperti di tancap ribuan paku, dia menggigit bibir bawahnya membaca berulang-ulang di kata ‘Wahyu’. Lia berbalik untuk pergi, tapi kemudian berhenti dan memandang lintasan pesawat. “Apakah harus aku tunda dulu,” serunya. “Untuk berkata maaf dan memperbaiki lagi.”
***
Mita termangu menatap foto Wahyu di tangannya. Di sekitarnya bertebaran
foto-foto dirinya bersama Lia berbagai ekspresi. Kenangan akan persahabatan
mereka sejak kecil bahkan tak mampu membuat Mita mengantikan sosok Lia.
Diingatnya betapa menyenangkannya mereka dulu, saling
berbagi cerita. Setelah ia menemukan lelaki bernama Wahyu semua hancur, luluh
lantak tanpa akhir yang jelas. Baru kali ini Mita merasa sendirian. Dengan
wajah muram di urungkan niat latihan basket pada jam istirahat dia ingin
sendiri di kelas.
Mita meraih hpnya yang sejak
tadi berdering.
“Kenapa? Gue ngak bisa. Kita sekarang ngak ada hubungan jadi, lo lupain gue!!”
Di saat Mita mendinginkan pikiran dari segala macam
mengenai Wahyu, murid-murid satu sekolah malah membahas kedekatannya dengan
ketua OSIS itu, di balik luar kelas yang terdengar sangat jelas olehnya. Bel
masuk berbunyi.
Ketika sudah sampai di depan gerbang sekolah, tak disangka Wahyu melintas di
hadapan Mita. Namun Mita mempercepat langkah. Sebenarnya, ia menghindar untuk
membuang perasaan lebih kepada Wahyu segera mungkin pula akan di bencinya.
“Kok jadi cuek Mit, soal wawancara itu ngak apa kalau
ngak bisa. Gue tau alasannya karena ada sesuatu yang lo simpan dari gue.”
“Apa urusan lo sih?” Mita sewot, semakin mempercepat
langkah kemudian Wahyu mengekor di belakangnya.
“Jangan merasa terus bersalah dengan menjadi pesimis.
Apalagi lo bilang lupain, buat gue menyia-nyiakan semuanya. Semua yang terlalu
lama—menunggu.” Wahyu memandang Mita khawatir tapi gadis itu memutar bola
matanya malas. Murid-murid yang sedang berjalan menuju lapangan parkir kontan
berhenti dan menonton.
Begitu tak ada reaksi, Wahyu segera mengandeng Mita
menjauh dari keramaian. “Sungguh gue ngak ngerti maksudnya, Yu?! Udah deh minggir,
lepasin tangan gue!” Mita mendorong tubuh Wahyu. Wahyu tetap bergeming disitu.
“Oke, gue akan jujur tentang masa lalu kita.”
Ternyata Wahyu mengandeng Mita menuju Jazz hitam yang
terparkir di parkiran khusus sekolah. Tanpa banyak bicara, dia menyuruh Mita
masuk. Setelah mobil itu menjauh keluar dari area sekolah, kemudian Wahyu
menghentikan mobilnya di dekat lapangan komplek perumahan.
bersambung... Part 5