Cerita pendek ini mewakili keinginan saya untuk menjelajahi negara empat musim.
Sama seperti di cerita bersambung "Setiap Cinta adalah..." pada cerita juga akan merangkum dari berbagai makna mendasar dalam melihat kehidupan dengan cinta.
Annayo melangkah memasuki kedai kopi sembari menunggu kereta
ke stasiun menuju Kyoto. Ia melihat para pengunjung kian ramai dipadati oleh
wisatawan menjelang akhir tahun. Kyoto salah-satu kota yang digemari ketika
musim dingin.
Annayo mengerjap. “Ah, iya... aku tidak berniat memesan kopi.”
Mata hitamnya terbelalak lebar menatap taburan caramel latte diatas secangkir kopi.
Selama tiga bulan terakhir ia banyak belajar dari secangkir
kopi, bukan karena kopi minuman yang lagi trend
ataupun memiliki cerita yang bisa dijadikan ungkapan. Bagi Annayo kopi ialah
bagian dari rasa pelengkap. Rasa yang membuatnya mengenal arti awal kehidupan.
Ia hanya tau kehidupan tentang kesakitan maka dengan meminum kopi bisa berbagi
perasaan yang dialami. Dua puluh tahun Annayo menjadikan dirinya tertutup akan
orang lain. Baginya orang lain membuat dirinya dalam bahaya tetapi satu orang mematahkan
presepsinya.
Oh, aku sudah gila, pikir Annayo sambil mengaduk pelan
kopinya yang mulai dingin. Ia bingung sama pikirannya sendiri. Apakah ia akan
mengenang masa lalu sebagai perubahan? Sepertinya begitu.
Satu orang yang mematahkan presepsinya itu mengatakan, kehidupan tidak disamakan seperti kopi
yang dikatakan kebanyakan orang tapi tidak juga penyebab dari kesakitan. Kalau
memandang kopi sebagai langkah awal kehidupan mungkin barbagai definisi.
Semakin diaduk endapannya menyebar dan semakin di diamkan endapannya menyatu
maka kita ada dikeduanya. Mungkin untuk memahami.
Annayo memejamkan mata dan menggeleng-geleng. Sangat bijak, Mengeluarkan suara
setengah mendengus, setengah terkekeh.
“Baiklah. Kopi adalah bagian dari rasa yang memahami.” Kata
Annayo melirik kertas yang ia tulis tadi. Jam menunjukan pukul 05.10 pm sebelum
20 menit kereta tujuan Kyoto berangkat ia bersiap memakai overcoat hangat untuk melapisi sweaternya.
Walaupun suhu kini -2⁰C salju akhir tahun belum turun lagi.
Keluar dari kedai kopi menuju ruang tunggu penumpang, Annayo mendengar
gema alunan musik khas Negeri Gingseng. Mengingatkan cerita tentang apa yang
dialaminya selama tinggal di Korea.
“Jelas beda ini namanya
bimbbap.”
Annayo mengangkat bahu.
“Yah, aku bilangnya ini sushi tapi tidak ditambah sashami saja.” Seperti kata
orang-orang, menilai dari dalam barulah bisa menilai luarnya. Bagi Mr Joo
bimbbap dan sushi sama seperti pernyataan tersebut. Keduanya memiliki isi yang
berbeda walaupun terbuat dari nasi yang digulung. Dia sahabat barunya di Korea.
Tatapan Annayo terpaku kepada Joo masih bingung dengan alasan klasik itu.
“Ketika aku mengenalmu,
aku tahu kau sama sekali berbeda. Aku sangat nyaman belajar hal dimana
orang-orang hanya mengenalnya dari bacaan atau cerita saja tapi aku
merasakannya langsung. Bahkan kau mengajariku ‘sesekali bodoh’ pada kehidupan
untuk tidak terlalu serius.”
“Jadi kau pasti tau
dimana letak bedanya? Dalam pencarian atas makna hidup yang sesungguhnya, perlu
sebuah perbedaan dan untuk menemukannya harus banyak mengenal dari dalam bukan
hanya melihat luarnya. Ketika kau telah menemukan maka rasa itu berbeda ada
kenyamanan disana.”
Alunan musik dari salah-satu band di Amerika mengantikan playlist
musik K-Pop menyadarkan Annayo dari
lamunan. Pintu kereta terbuka, penumpang yang menuju Kyoto segera mengantri di
depan gerbong. Ia bergegas masuk ke antrian sesekali melirik jam tangannya.
Pukul 05.28 pm. Terlambat beberapa menit saja pasti ia akan disuruh kondektur
memesan tiket di jam lain.
Pebedaan yang akan
membuat kenyamanan,
Annayo mengangguk dibangku keretanya memikirkan kembali perkataan Joo.
Kereta melaju cepat meninggalkan stasiun memperlihatkan
pepohonan khas musim dingin. Dari kaca jendela Annayo melihat kagum pemandangan
rumah penduduk serta kebun yang dibangun di atas bukit. Perlahan ia merasakan
angin menampar pipinya. Kini butiran salju akhir tahun telah turun hawa dingin
semakin menguasai tubuh. Annayo memasukan ponselnya kembali di urungkannya niat
untuk mengetik pesan. Terdengar suara anak kecil dibelakangnya bergumam sedih.
“Eomma, appa tidak ikut? Doo Kyung mau di Seoul
saja sama appa!”
Ibunya mendesah pendek. “Doo Kyung... appa masih ada kerjaan di Korea.”
“Bermain bersama appa
dan eomma lebih menyenangkan. Eomma, liburan kan bisa kapanpun.”
Jawabnya membuat ibunya dan Annayo tersentak. Ia menoleh kebelakang tersenyum
mengamati wajah anak laki-laki bernama Doo Kyung itu.
***
Butuh waktu beberapa
tahun bagi Annayo memahami maksud ibunya saat ia bertanya kenapa ayahnya mau bertemu
satu tahun sekali. “Ayah punya kejutan untuk mengajak bermain makanya dalam
satu tahun ia akan berkunjung.” Ia ingat betul ketika merindukan ayahnya ibunya
selalu memberikan sebungkus coklat. Walaupun pada akhirnya ia mendengarkan juga kenyataan yang tidak akan
bisa diubah kembali.
“Sekarang ibu dan ayah
punya jalan yang berbeda kita tidak bisa kearah sama.”
“Lalu? Bu, bukannya
kalian harus mengulang dari awal untuk memilih jalan lain agar sama."
Ibunya tersenyum.
“Tentu saja. Jalan itu hanya kau Annayo.”
Annayo menghembuskan nafasnya dengan perlahan, mencoba
menahan kedua matanya untuk tidak menangis. Ia memiringkan kepala, berpikir
agar Doo Kyung tidak sedih lagi.
“Ini coklat dari kakak, jadi lelaki yang pintar ya.”
Hening sejenak sementara Annayo mengelus pipinya dan
tersenyum kepada ibu Doo Kyung. Sesaat kemudian Doo Kyung membalas dengan senyuman
kecil.
Tinggal 15 menit kereta akan sampai di stasiun Kyoto. Lampu
jalan raya kota Kyoto kelihatan dari kejahuan dan pinggiran trotoar sudah
tertutup gundukan es. Annayo memfokuskan diri untuk menulis dua lembar lagi
sesekali menyesap teh hijaunya. Aroma teh hijau selalu membuatnya tenang.
Banyak pilihan menjalani segala sesuatu kadang-kadang merasa seperti perenang
yang harus maju tanpa tau rintangan apa di depan. Sudah hampir dua lembar
selesai ditulis ia berencana ingin mengajukan proposal tulisannya ini. Tekad
untuk menerbitkan novel kembali telah lama dipikirkan. Annayo, penulis di
kantor swasta terkenal Tokyo. Sebagai penulis ia telah banyak menulis artikel
serta surat kabar. Sudah hampir lima tahun untuknya tidak menulis novel lagi.
Annayo terdiam selama beberapa lama.
“Kenapa cerita menyedihkan ini dimasukkan juga? oh dear...” gumamnya.
Dari lubuk hatinya ia merasa senang sekaligus terharu membaca
kembali proposal yang selesai ditulis tadi. Entah mengapa, hidup yang telah
dilaluinya dulu bakal rumit. Tetapi sekarang Annayo tersenyum lebar ada banyak
pembelajaran yang membuat dirinya kian bertambah dewasa.
Cerita pada proposal yang akan dirangkumnya berhubungan
dengan filosofi akan ketegaran. Selain sikapnya yang tertutup dulu seiring juga
terbentuk sikap ingin berbagi. Ia bukannya tipe orang yang bisa menyimpan baik
kesedihan. Duduk menunggu orang yang tepat memang melelahkan. Namun waktu
begitu baik mengizinkannya bertemu perempuan itu.
Pada pukul 11.50 pm
menjelang pergantian tahun. Annayo melirik perempuan seumurannya sedang meminum
teh hijau yang baginya aroma teh itu menenangkan.
“Kamu tidak suka?”
tanya si perempuan tersenyum sinis.
“Ah, tidak... bisakah
kamu mau dengar ceritaku sebentar saja.” Kata-kataku tercekat rasanya ingin
sekali menangis. Perempuan bersyal merah itu langsung memeluk Annayo.
“Dengan menangis akan
buat kamu tidak sakit jadi ceritalah.”
“Be-benar juga, ya,”
Annayo balas kikuk sambil mengendurkan pelukan.
Ia menatap kedua mata
perempuan itu dalam-dalam. “Makasih.”
Sejenak tidak ada yang
bersuara.
“Kamu orang pertama
yang nawarin bantuan untuk mendengar cerita. Aku senang.” Jelas perempuan itu
memecahkan keheningan.
“Jadi menangis saja
kalau kamu tidak mampu menahannya lagi.” Katanya.
“Mau tau rahasia selain
menangis? Yaitu dengan menyesap aroma teh hijau. Aku sering melakukannya dengan
begitu perasaan akan jadi tenang. Sama seperti kita berada di puncak gunung
merasakan dekat bersama alam. Setidaknya aroma alam bisa membuat kita menyadari
ruang kesedihan tidak selamanya sendiri ada keharmonisan juga.”
Annayo mengangguk
setuju terkesima pada setiap kata-kata ucapan perempuan itu. Betapa malunya ia
yang mudah sekali menangis.
Perempuan itu bangkit
dari tempat duduknya, berdiri memandang langit yang dipenuhi kembang api khas
malam tahun baru. Jarum jam telah menunjukan 00.04 am. Ia bersiap berlari
menuju kakaknya. Langkahnya terhenti saat Annayo menahan pergelangan tangannya.
Annayo tersenyum.
“Namaku Annayo. Nama kamu?”
“Naomi. Aku duluan ya.”
Balasnya dengan senyuman juga. Dengan memandang langkah kepergian Naomi,
perasaan Annayo sudah tampak lebih tenang.
*
Hawa dingin makin terasa menyeruak masuk ke dalam basment parkiran ketika Annayo turun
dari kereta menuju pintu keluar. Terkadang orang di kiri-kanannya
berlalu-lalang dengan mempercepat langkah untuk bersiap merayakan malam pergantian
tahun. Susah payah ia menarik kopernya agar tidak ditabrak. Di sini tempatnya
sekarang, duduk disamping halte pemberhentian bus angin bertiup pelan. Sungguh
embusan angin musim dingin yang mengigil sempurna. Satu persatu bus menuju
pusat alun-alun Kyoto tiba. Malam ini di alun-alun akan diadakan pesta kembang
api dan festival musik.
Menempuh rute perjalanan kereta selama 3 jam, ia lupa untuk
menghubungi ibunya. Tampak ibu berusia akhir 40 sudah menunggu diseberang halte
bus, yang langsung dipeluknya hangat.
“Sudah lama, bu?”
“Oh, Annayo? Hampir saja ibu membeku.” Ibunya mencibir.
Dibalas Annayo dengan cengiran di wajah sebagai respons.
“Sebagai permintaan maaf ajak ibu lihat kembang api!”
lanjutnya.
Annayo mengangkat alisnya. Ia agak bingung melihat sikap
ibunya, menirunya saat kecil yang ingin melihat kembang api.
“Ayo!”
Dan, terkadang berbagai
rasa pada masa lalu mengajarkan untuk berani keluar dari zonanya, lanjut Annayo dalam hati. Ia
tersenyum menatap langit yang berwarna-warni.
Bertemu musim lainnya di Tentang Maple (Autumn)