Bertemu musim lainnya di Pertemuan (Summer)
“Hanna sepertinya saya harus berterima kasih padamu,” Seorang
teman berkata sewaktu kami sedang duduk menunggu bus. Kami bertemu ketika aku
pertama kali menetap di Seoul—hampir lima tahun lamanya. Pandangan positif dirinya
mengenai kehidupan buatku kagum. Selama lima tahun pula ada kisah yang aku
dapatkan; upaya wanita untuk menyalurkan paham feminisme.
Bergegas kami masuk ke dalam bus tujuan Daegu.
Aku memberikan dua tiket Changgeuk* padanya. “Buat
orang-tuamu mereka akan suka.” Dia menggeleng pelan. “Kami berselisih lagi.”
“Meyakinkan sebuah kepercayaan semuanya ada proses dan butuh
waktu.”
“Ada jaminan?”
Aku mendengus. Seperti biasa, baginya masalah tidak perlu di
bawa serius bisa menambah tengsi kulihat
dia tertawa ringan. “Saya bercanda jangan langsung berasumsi, Han.”
Sok bijak. Gantian aku yang tertawa. Detik
berikutnya kami saling menertawakan tingkah masing-masing untung saja suara tawa
kami tidak sampai ke telinga penumpang bus.
“Bahasamu makin lancar ya, Jeon. Kapan mau ikut saya ke
Indonesia?”
Jeon diam mengalihkan pandangannya pada jejeran lampu jalan seakan
pertanyaan itu sulit untuk dijawab, dua tahun Jeon menetap lama di Indonesia
cukup untuknya tau seluk-beluk Negara Indonesia. Alasan itu membuat obrolan
kami kian akrab bersama Jeon pula banyak bahan dijadikan diskusi mendapat ilmu
secara psikologis bagiku penting menyenangkan ketika bisa menerapkannya
langsung di diri kita.
Baiklah, aku tidak usah mengulang toh pertanyaan itu yang terakhir.
Beberapa kendaraan parkir di bahu jalan memenuhi Kuil
Donghwasa pilihan tempat wisata Kota Daegu yang paling ramai pengunjung. Lampu-lampu
bangunan bersinar terang dibuat mirip hiasan gantung warna-warni seperti ada
festival penyambutan matahari terbit karena besok minggu terakhir musim gugur.
Sayangnya bus yang membawa kami tidak mampir ahjussi* memacu kemudi sewaktu lampu
lalu lintas berubah hijau.
Diam-diam Jeon mengikuti arah pandangku melihat aktifitas
jalanan dari kaca jendela.
Apa?
Seolah membaca pikiranku, gadis rambut panjang itu menjawab dengan suara lirih. “Aktifitas
di jalan memang menarik.” Dia tidak bahas pertanyaan tadi. “Sejujurnya saya
memiliki keturunan Indonesia keluarga ibuku orang Melayu. Kau paham bagaimana
kita menutup rapat norma yang dianggap tabu
seperti stereotipe orang berbeda di
sini sudah tercampur modernisasi.
Maaf Han, baru menceritakan padamu.”
Aku tidak kaget duduk tenang di samping Jeon mencerna kalimat
dibalik nada penyesalan.
“Kata pepatah masih ada kemungkinan baik yang datang di kondisi
apapun.”
“Tentu Han, asal ikhlas hasil tidak mengkhianati. Kau tidak
marah saya belum jawab? Maksud saya, untuk beberapa waktu saya tidak siap bila ke
Indonesia tapi jujur ada keinginan kembali ke sana membuka lembaran baru.”
Dugaanku salah. Dia membahasnya.
“Saya pastikan kau akan ke sana lagi, Jeon.” jawabku nyengir.
***
Kurang lebih empat jam perjalanan di dalam bus akhirnya sepatu
kami baru menyentuh aspal jalan yang penuh guguran daun separuh daunnya
bernominasi daun maple. Jeon menangkup dua tangan di depan dada pakaiannya
hanya dilapis sweater mungkin dia
tidak mengira suhu di Daegu sedingin ini, aku mengeluarkan hoodie panjang dari tasku memberikannya, sekelebat senyum
‘terimakasih’ muncul di wajahnya.
Meski mulai gelap, langit masih cerah semburat awan khas
musim gugur kadang terlihat seperti gumpalan embun sesudah hujan. Kami berjalan
kaki menuju penginapan menulusuri panjangnya trotoar di bawah pepohonan yang
menyisahkan ranting-ranting. Mataku menjelajah tiap sudut jalan terdapat pantai
yang menghadap langsung bangunan dua tingkat arsitektur atapnya mirip rumah
tradisional Korea dan sisi kanan halaman ditanami buah jujube. Butuh waktu lima
belas menit dari stasiun bus untuk sampai di bangunan itu.
Langkah Jeon berhenti tepat di depan gerbang badannya
membungkuk hormat, seorang halmeoni*
berdiri dengan senyuman ramah.
“Bagaimana kau suka penginapannya?” tanyanya, kepalaku mengangguk
antusias.
Halmeoni selaku pemilik bangunan menyapa kami
sambil membalas pelukan Jeon berkata, “Anyeonghaseo* Bo Ram-ah, lama tidak mampir
berkunjung. Oh, Kau datang bersama temanmu yang dari Indonesia, ya?”
“Ne*, saya Hanna.
Terimakasih halmeoni sudah menyambut
kami semoga kami tidak merepotkan.”
“Tidak masalah, ayo, masuk! Halmeoni mau ambil minuman teh jujube dulu biar hangat. Kalian
taruh barangnya di dalam saja.”
Kami berdua menurut. Masuk ke dalam ruang tunggu ada
pemandangan menyegarkan mata terpampang lautan biru dan jejeran kursi santai
pelengkap interior.
“Jeon, kalian sangat akrab ya, halmeoni tidak sungkan panggil namamu.”
Dia menyamankan posisi duduknya mulai bercerita lebih jauh.
“Dulu penginapan ini adalah rumah halmeoni penghuninya pun ramai setiap saya ke sini ada banyak teman
main,” Dia tertawa hambar lalu melanjutkan, “Makan di tepi pantai jadi
rutinitas wajib dan saya bertugas membawa gelas. Satu cucu halmeoni ada yang
akrab denganku pulang-pergi sekolah bersama.”
Jeon menghentikan ceritanya mengambil nampan dari tangan Halmeoni menaruh dua cangkir teh jujube
di atas meja.
“Silahkan, kalian minum tehnya, maklum suhu Daegu musim gugur
tahun ini cukup dingin. Kalian besok rencana pergi kemana?”
“Kami hanya satu hari, halmeoni.
Sebenarnya tujuan kami seperti yang dijelaskan di telepon,”
Mata Halmeoni menatap
hati-hati ke arah kami detik kemudian bibirnya mengembangkan senyuman. Aku
membayangkan kemungkinan kalau-kalau halmeoni keberatan nyatanya tidak buruk,
Jeon pun menarik napas lega. Paling tidak kedatangan kami ke Daegu mendapat
hasil.
Belum sempat Jeon melanjutkan kalimatnya, Halmeoni langsung ke topik obrolan yang
kami maksud. “Seong Ah tidak berani dan setegar kau, Bo Ram. Entah berapa kali
gadis itu halmeoni ingatkan dia masih
terus mempercayainya apalagi sekarang mereka sudah tinggal serumah. Badannya penuh
luka memar dia terlihat sangat menderita, Bo Ram-ah... seharusnya Seong Ah bisa
berpikir jauh.”
Aku menelan ludah. Pantas Jeon mau ikut mengembangkan bahan
survei di sela-sela cuti mengingat objeknya adalah orang terdekat.
“Maaf, Halmeoni,
seharusnya kami datang lebih awal agar Seong Ah paham.”
Halmeoni menghela napas. “Jangan segan kalian
juga sudah jauh-jauh cuma bisa dengar fakta yang tidak mengenakkan.”
“Tidak Halmeoni, itu cukup untuk kita sekadar tau. Apa
sebelum pindah dari penginapan Seong Ah ssi*
berpesan sesuatu?” gantian aku bersuara, meluas topik obrolan.
“Seminggu sebelumnya, Seong Ah bilang tidak ada kesempatan kembali
ke sini halmeoni disuruh untuk bertukar
kabar via jauh saja.”
Aku dan Jeon bertukar pandang menyiapkan diri untuk
pernyataan terburuk.
“Halmeoni pernah
sekali ketemu orang tua pacarnya yang berasal dari keluarga berada. Selain
kasta yang berbeda kedua orang tuanya tidak mau Seong Ah menjalin asmara dengan
anaknya, mereka tau orang tua Seong Ah bercerai dan selektif untuk tidak
terikat hubungan. Nyatanya, anaknya sendiri banyak ketimpangan kuasa atas Seong
Ah hubungan yang protektif, bahasa anak muda cinta posesif,”
“Keberanian atas hubungan perlu, bukan? Kalian sudah punya
bekal itu semoga waktu bisa membuka pikiran Seong Ah.” jelas halmeoni hendak bangkit berdiri.
“Baiklah, Halmeoni cukupkan dulu
kalau ada yang ingin ditanyakan jangan sungkan nanya, ya. Kalian pasti capek
sejak daritadi belum istirahat halmeoni
izin ke belakang mau menyalakan pemanas.”
“Kamsahamnida* halmeoni.” Kami serempak menjawab. “Terima kasih juga teh jujubenya.” Jeon
menambahkan seraya meminum habis tehnya aku pun ikut meminum tehku yang mulai
dingin.
Rasa buah jujube ditanam lokal memang jauh
berkualitas jadi ingat hari pertama di Korea aku ingin menanam buah jujube di
lahan kecil pada kenyataannya aku tinggal di apartemen yang tidak ada sepetak pun
tanah karena harga tanah lebih mahal dibanding ruangan apartemen.
Setelah berganti pakaian dan istirahat dua puluh menit, kami berdua
jalan-jalan di sekitar penginapan jemariku sibuk memotret pemandangan authentic tampak Jeon mempercepat langkah
melihat ayunan di tengah taman, aku di belakangnya melihat dengan wajah was-was
takut Jeon tersandung. “Yak, hati-hati!”
“Han, lihatlah, bukankah Daegu seperti harta karun tersembunyi? ada
ayunan, jejeran pohon maple dan lautan. Perpaduan warna yang pas!”
Ah, iya. Seratus meter dari pantai ada sebuah taman dirindangi pohon maple di tiap sisinya. Pantas Jeon menggerlingkan mata senang.
Aku tersenyum ke arah Jeon. “Jadi list
perjalanan lagi tahun depan.”
“Algeseumnida* dan good idea i correct you.”
“Bahasamu macam jamu yang di minum ibuku campur sari.”
Dia tertawa, lalu menggelengkan kepalanya sekilas. “No, kapan-kapan saya tambah Bahasa Jepang sedikit kata yang diajarkan
Seong Ah.”
“Curang. Bahasa Koreaku belum lancar dan kau ingin memakai Bahasa Jepang?”
“Belajar dong, Han.” Jeon ikut protes. “Terimakasih. Cukup Bahasa Korea
saja yang bikin pusing.” jawabku, tertawa ringan.
Pukul delapan malam lewat tiga menit. Lebih kurang setengah jam kami
duduk di papan ayunan, tak henti-hentinya memfokuskan pandangan pada pohon maple
yang daunnya jatuh tertiup angin musim gugur.
“Jeon, cucu halmeoni yang akrab denganmu itu..., Seong Ah?”
Jeon mengangguk. “Seong Ah yang senang membanggakan pacarnya, yang setiap
hari di beri hadiah manis pacarnya, yang tidak pernah bosan bertemu pacarnya,
yang mengadu sikap buruk pacarnya sampai mengeluh diperlakukan kasar
pacarnya... semua saya tau, Han. Mengingatnya bikin hati piluh saya tempat
tujuannya tetapi saya tidak paham dengan masalah yang dia alami. Kata Seong Ah, tidak mau membebankan masalahnya di atas masalahku. Dan mengapa tidak
akhiri hubungan dengan pacaranya? Seong Ah diancam akan di jual ke pekerja
komersial dengar cerita halmeoni tadi
buatku makin piluh.”
Mataku membulat. “Diancam?”
“Di era milenial mengancam wanita adalah senjata paling mudah anggapan
sebagai makhluk lemah sudah melekat. Oleh sebab itu, Han, jangan takut
menyuarakan pendapat sendiri. Kau beruntung memiliki pasangan yang sama-sama
berlajar mendewasakan diri.”
“Iya, saya harus lebih bersyukur. Komitmen sangat penting daripada menempatkan
cinta di atas segalanya mungkin karena itulah kami bisa mengesampingkan ego.”
“Menuruti stereotipe
orang memang tidak habis-habis.” lirih Jeon bergidik ngeri.
Aku menghela napas berat. Benar saja, banyak kasus feminisme tidak mudah diselesaikan karena stereotipe kelompok manusia. Hak keadilan yang berbeda pandang pun
dipersulit. Kepalaku beralih ke perut Jeon yang sedang mengandung anak pertama
tanpa sosok ayah. Bibirku terangkat, khusus kuarahkan pada wajah Jeon yang
tidak lagi menampakkan guratan-guratan kesedihan setelah satu tahun berlalu. Kadang
untuk menyuarakan sudut pandang yang berbeda keadilan itu hilang—tidak menuruti
stereotipe.
“Jeon, sudah pukul sembilan kajja*
kita kembali ke penginapan tidak baik berlama-lama di udara dingin kau bisa
masuk angin kan tiga minggu lagi dek bayinya lahir.” desisku.
Mata Jeon mengedip. “Tante Hanna perhatian sekali,” sebelum bangkit
berdiri Jeon mengambil beberapa lembar daun maple memasukkannya ke kantong
coat. “Han, bagaimana kalau nama
Maple?”
“Bagus, nama yang bermakna spesial bagi pemiliknya.”
“Akan saya namai Maple meski jatuh terbawa angin daunnya yang gugur jadi keabadian.”
Namun, masing-masing arus pikiran sibuk mencari kemungkinan agar Seong Ah
keluar dari penderitaan. Dalam silaunya lampu jalan kami beranjak meninggalkan
taman.
*Keterangan*
Changgeuk (Opera tradisional Korea), Ahjussi (sebutan pria tua), Halmeoni (Nenek), Anyeonghaseo (Menyapa "Hai"), Ne (Iya), ssi (Memanggil nama secara sopan), Kamsahamnida (Terimakasih), Algeseumnida (Saya mengerti), Kajja (Ajakkan "ayo")