CERPEN: Pertemuan (Summer)
Bertemu musim lainnya di Memory (Spring)
Kring. Terdengar kayuhan sepeda Maura menuju kedai sederhana di pesisir pantai. Baju terusan selutut dipadukan kardigan merah muda menambah kesan musim panas. Ada banyak kucing liar datang untuk tidur di kedainya apalagi bila temperatur di atas tigapuluh tiga derajat Selsius kedai Maura bisa menjadi tempat penangkaran. Maura berjongkok mengelus kucing coklat yang bergelayut manja di kakinya dari seekor kucing inilah ia tau cara menikmati hidup.
Aku ingin menceritakan sosok gadis bernama Maura kisah yang
kutemui saat berada di benua Amerika musim panas tahun lalu. Berbeda dengan
kisah-kisah lain ini tentang makna pencarian diri ibaratkan oase di tengah
gurun pasir.
Maura dengan senyuman khas telaten menyiapkan menu pesanan.
Setiap sudut kedai tidak pernah kosong oleh pengunjung walau sekadar mampir beristirahat.
Aku ingat, ada kalimat Maura yang selalu ditanyakan padaku. “Kau tau kesederhanaan
dalam kebahagiaan?” Hanya perumpaan pendek tidak perlu jawaban, katanya.
Sementara bagiku kalimat itu sangat cocok dengan kondisiku. Memandang lekat
wajah Maura berharap ia memberi jawaban.
“Hey, jangan menatap begitu aku jadi kecewa.”
Baguslah ia tau aku sedang memaksanya. Apalagi pagi seperti
ini waktu yang tepat untuk berbincang karena belum banyak pengunjung datang.
Maura tau betul jadwal kunjunganku yaitu di pagi hari mulai pukul sembilan
sampai pukul satu siang, sebelum aku masuk ke laut menyalurkan hobiku.
Menyelam.
“Kau akan tau jawabannya selama tidak menutup sebelah
matamu.” Maura berkata pelan, nadanya terdengar serius. Seperkian detik aku
diam hanya bisa menatap punggungnya membelakangiku sedang sibuk menata kursi-kursi.
Aku takut kalau nanti ia tersinggung di hari pertemuan kami ke-empatbelas yang masih
status-belum-akrab.
Seraya meminum americano
yang mulai dingin, aku bisa melihat hamparan air biru dari tempatku duduk. Latar
alam yang nyata dalam menjernihkan pikiran satu alasan menyelam adalah hobiku. Maura
gantian menatap.
“Setelah ini mau pindah kemana?”
Aku menyeringai, hampir
lupa dengan kepindahan.
Sepuluh tahun di Amerika sayangnya aku baru tau ada tempat
tenang seperti ini hanya beberapa hari saat akan pindah benua.
“Belum memastikan akan kemana yang pasti dekat laut.”
“That’s right, dekat
laut berarti kau sudah memastikannya.” lirih Maura mengejek.
Ah, biarkan saja ia mengejek separuh hati aku berkata pada
diri sendiri.
Pertemuan
ke-limabelas
Suhu hari ini diperkirakan yang paling tinggi selama musim
panas. Walau cuaca terik aku berlari cepat menerobos garis pantai menuju kedai.
Semalam Maura berpesan untuk menitipkan kedainya padaku sesuai dugaan sudah ada
tiga orang menunggu di depan kedai. Beberapa kucing langsung masuk sesaat pintu
terbuka begitupun dengan pengunjung tampak lebih ramai dari kemarin. Sedikit
kewalahan aku bolak-balik dari dapur ke ruang depan mencatat pesanan sembari
memasak.
Dua jam berlalu kedai tak kunjung lengang. Keringat membasahi
peluh aku bertekad akan menyelesaikan pekerjaan ini sampai waktunya selesai.
“Pengelolanya pergi meminta perpanjangan sewa kedai sungguh
disayangkan bila ditutup padahal tempatnya nyaman dan enak.”
Terdengar obrolan dari pengunjung saat aku mengantar makanan
ke meja luar.
“Tolong bilang pada pengelolanya jangan ditutup hanya kedai
ini tempat singgah kami.” Kali ini pengunjung yang aku antar makanannya
berkata.
Aku balas kikuk. “i, iya, nanti saya sampaikan.”
Dari kaca jendela dapur tempatku berdiri melihat anak-anak
kecil bermain istana pasir, orang-orang dewasa berenang dan lansia duduk
bersantai atau berbincang tetap pikiranku tertuju pada hal apa yang bisa aku
bantu untuk mempertahankan kedai Maura ini.
Pertemuan
ke-enambelas
Setengah hari Maura berada di kedai dan kembali menemui
pemiliknya. Tak ada percakapan hangat yang biasa kami obrolkan hanya
mengedarkan pandangan ke arah masing-masing. Kulihat Maura yang kesusahan
meraih kotak kecil di atas rak perabotan dapur.
“Bagaimana perkembangannya?” aku bertanya. Sedikit berjinjit
untuk membantu Maura mengambil kotak.
“Kemarin banyak pengunjung yang meminta kedai jangan
ditutup.”
Maura menghembuskan napas tenang. “Aku tidak yakin. Bila akhirnya
harus ditutup bukan hendak dariku terlalu banyak kenangan ada disini. Kau jelas
bisa lihat itu, semoga dengan sedikit usaha akan mendapatkan hasil yang baik.”
Sekali lagi, ia menghembuskan napas secerca senyuman melengkung
di sudut bibirnya.
“Maaf telah merepotkanmu titip kedai selagi aku pergi.”
Aku balas mengangguk tak luput menatap kepergian punggungnya
yang semakin menjauh.
Ada yang berbeda pada Maura, sepasang matanya menunjukkan
kesedihan bukan berhubungan dengan masalah kedai tetapi hal lain yang ditutup
rapat, buatku tidak bisa menerka-nerka apalagi aku orang baru di kehidupannya
yang ditugaskan untuk membantu dan menjaga kedai.
“kenapa aku penasaran? seperti bukan diriku yang biasanya
saja.” gumamku. Dua ekor kucing masuk bulu lembutnya menyentuh tangan.
Sungguh manis pasti mereka penghilang kepenatan Maura selama
sendirian di kedai.
Sopan tidak bila aku mencari tau ‘hal lain’ yang dimaksud
kemudian aku akan dijuluki stalker
dan endingnya kami bermusuhan. Eh, jadi
dramatis. Mungkin itulah yang disebut
ketertarikan tetapi kepada siapa? Maura?
Kini kucing-kucing tadi pindah berguling dipojokan teras
menyambut kedatangan pengunjung.
Pertemuan
ke-tujuhbelas
“Kau beralih hobi ke selancar?” Maura bertanya ketika aku
masuk ke kedai menaruh papan selancar di atas meja. Tampaknya kedua mata Maura
terlihat bengkak.
Aku tidak menjawab lebih tertarik bertanya keadaannya. “Apa terjadi
sesuatu padamu?”
Gantian ia yang tidak menjawab menyibukkan diri dengan
memasak. Bila kesederhaan dapat merubah kebahagiaan mungkin manusia di muka
bumi akan damai. Sama seperti melihat wajah damai Maura. Contoh perempuan
mandiri dengan pandangan modern. Terik matahari pagi menerpanya, diam-diam aku
memperhatikan. Ia menutup silau cahaya dengan satu tangan sementara tangan
lainnya menata makanan ke piring. Jujur aku cukup terkesima.
“Katanya kalau melihat lebih dari satu menit akan bikin jatuh
cinta, kuharap kau tidak percaya pada ungkapan itu.”
Maura tertawa kecil seraya membawa nampan ke meja pengunjung.
Terbesit rasa malu di wajahku secara kontan memerah. Tapi,
tau darimana lebih dari satu menit menurutku hanya beberapa detik. Gawat aku
lupa menanyakan kembali keadaannya.
Pertemuan
ke-delapanbelas
Deretan bibir pantai dipenuhi wisatawan yang berjemur.
Sekarang jam satu siang waktu untuk menyelam ke laut, aku siap membawa perlengkapan
serta alat oksigen. Membawa tubuh untuk melihat dasar laut tanpa berpikir dua
kali aku langsung menceburkan diri. Dengan cari ini definisi kebahagiaanku,
tiap orang memiliki caranya bukan?
Aku berdecak kagum. Bagaimana bisa terumbun karang, tumbuhan
dan makhluk laut hidup selaras tanpa perlu takut dirusak oleh tangan-tangan
jahil manusia. Itu artinya dalam pandangan hidup pasti ada yang ingin mengusik
tetapi kamu masih bersyukur atas kehidupan yang dimiliki karena hidup untuk
dilalui sendiri bukan orang lain.
Entah sudah kedalaman berapa meter posisiku berada dan suhu
air laut juga semakin tinggi, aku dapat merasakan dari pori-poriku. Pasti cuaca
menyentuh angka lebih tigapuluh tiga derajat Selsius.
Setelah puas menyelam aku kembali naik ke atas permukaan
mendapati Maura yang berteriak memanggil. “Cepat masuk ada yang mau aku
bicarakan.”
Kami berdua duduk bersebrangan, menunduk. Tidak ada di antara
kami yang membuka percakapan. Gadis di depanku ini menghela napas dan
menghembuskannya panjang-panjang.
“Maura,”
“Begini....”
Satu kata menyeruak keluar dari mulut masing-masing. Oh,
ternyata kami bebarengan. Cepat-cepat Maura membuang muka sementara aku
menyesap juice dan kembali menunduk.
“Kau duluan saja, um... katanya tadi ada yang mau
dibicarakan.”
Maura tersenyum lemah mendengar ucapanku. “Begini, mulai
besok kedai ini ditutup pemiliknya akan menjual. Menurutmu bagaimana?” katanya
putus asa.
Pertemuan
ke-sembilanbelas
“Menurutmu bagaimana?”
Pikiranku terpaku pada pertanyaan Maura kemarin, menatap
fokus ke bulir-bulir air yang jatuh membasahi pasir pantai. Hujan pertama di
musim panas.
“Kau masih berada disini? Pulanglah, lebih baik kau siapkan barang-barang
untuk kepindahan besok. Jangan mengharapkan sesuatu yang sudah terjadi.”
“Maura....”
Aku berjeda menahan napas meneliti sejenak raut wajahnya yang
semakin muram karena kesedihan. “Apa keadaanmu baik? Kau tampak berbeda
akhir-akhir ini, ingin bercerita?”
Maura mengerjap. Tidak menyangka aku akan menanyakan
keadaannya lagi setelah kemarin ia mengisyaratkan ke-tidak-sukaan- kemudian
berbalik seolah-olah menjaga jarak terhadapku.
“Aku sedang bertanya Maura, memang kita belum lama berteman tetapi
aku sungguh khawatir,”
“Pertanyaan terakhir. Apa keadaanmu baik-baik saja?” tanyaku
meyakinkan. Rasa frustasi menjalar. Frustasi melihat wajah sedih Maura.
Frustasi karena tidak bisa berbuat apapun hanya melihat masalah yang dialami
Maura. Dan frustasi karena Maura perlahan menutup diri dariku.
Maura mengigit bibir dengan susah payah menormalkan emosi.
Air mata mulai membayang di matanya. “Sudah aku katakan tadi, jangan
mengharapkan sesuatu yang terjadi. Anggap saja keadaanku dalam baik hanya
sedikit kecemburuan dengan hidupmu.”
Namun aku mengernyit bingung. “Maksudmu?”
“Pemilik kedai ini punya ayahku beliau sengaja menjualnya
agar aku tidak bisa menolak sekolah di jurusan yang pilihnya. Aku mau hidup
sepertimu dengan tanggung jawab dan rasa bahagia atas apa yang dijalankan.
Begitulah sederhana dalam kebahagiaan.”
Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam
jantung tanpa berkedip menatapnya.
Pertemuan
ke-duapuluh
“Maura, kaukah itu?” seruku. Bayangan Maura diterpa pantulan sunrise.
“Oh, tak kusangka kau datang,” Maura balas berseru sambil
menjinjing sepatunya berjalan mendekat.
“Pemandangannya bagus sekali dengan aroma
laut yang menenangkan.”
“Kuharap kita punya waktu pertemuan yang lebih lama. Maaf
sudah buatmu khawatir.”
Aku menggeleng. “Tidak masalah. Aku ingin mengucapkan terima
kasih padamu.”
“Untuk?”
Senyumku mengembang. Meski sulit harus pindah dan meninggalkan
Amerika serta teman baruku yang selama duapuluh hari selaluku lihat, aku
mendapati semua hal yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Menghabiskan waktu
untuk memiliki pandangan dari sisi berbeda. Itulah yang dirasakan olehku.
“Atas waktu bersama yang berkesan dan menyenangkan.”
***
Waktu memang berlalu begitu cepat hanya kenangan-kenangannya
saja yang tertinggal. Namun, aku tau bahwa waktu akan berpihak terhadap takdir.
Dan kali ini aku yakin akan ada saatnya untuk kita bertemu lagi sejak satu
tahun. Suara co-pilot memberitahukan pesawat sudah mendarat lancar bersamaan itu
pula aku melepas sabuk pengaman di kursi. Dari luar jendela tatapanku mengamati
pegawai maskapai yang sibuk menggeluarkan barang-barang dari bagasi.
Salah-satu makna pencarian diri yang bisa dipelajari;
keinginan dan impian dalam menjalankan hidup bukan berarti suka atau tidak suka
tergantung bagaimana kita memandang kebahagiaan dengan cara sederhana, itu
tandanya kita akan baik-baik saja.
0 comments