CERPEN: Pertemuan (Summer)

by - 26.1.18

Bertemu musim lainnya di Memory (Spring)


Kring. Terdengar kayuhan sepeda Maura menuju kedai sederhana di pesisir pantai. Baju terusan selutut dipadukan kardigan merah muda menambah kesan musim panas. Ada banyak kucing liar datang untuk tidur di kedainya apalagi bila temperatur di atas tigapuluh tiga derajat Selsius kedai Maura bisa menjadi tempat penangkaran. Maura berjongkok mengelus kucing coklat yang bergelayut manja di kakinya dari seekor kucing inilah ia tau cara menikmati hidup.

Aku ingin menceritakan sosok gadis bernama Maura kisah yang kutemui saat berada di benua Amerika musim panas tahun lalu. Berbeda dengan kisah-kisah lain ini tentang makna pencarian diri ibaratkan oase di tengah gurun pasir.

Maura dengan senyuman khas telaten menyiapkan menu pesanan. Setiap sudut kedai tidak pernah kosong oleh pengunjung walau sekadar mampir beristirahat. Aku ingat, ada kalimat Maura yang selalu ditanyakan padaku. “Kau tau kesederhanaan dalam kebahagiaan?” Hanya perumpaan pendek tidak perlu jawaban, katanya. Sementara bagiku kalimat itu sangat cocok dengan kondisiku. Memandang lekat wajah Maura berharap ia memberi jawaban.

“Hey, jangan menatap begitu aku jadi kecewa.”

Baguslah ia tau aku sedang memaksanya. Apalagi pagi seperti ini waktu yang tepat untuk berbincang karena belum banyak pengunjung datang. Maura tau betul jadwal kunjunganku yaitu di pagi hari mulai pukul sembilan sampai pukul satu siang, sebelum aku masuk ke laut menyalurkan hobiku. Menyelam.

“Kau akan tau jawabannya selama tidak menutup sebelah matamu.” Maura berkata pelan, nadanya terdengar serius. Seperkian detik aku diam hanya bisa menatap punggungnya membelakangiku sedang sibuk menata kursi-kursi. Aku takut kalau nanti ia tersinggung di hari pertemuan kami ke-empatbelas yang masih status-belum-akrab.

Seraya meminum americano yang mulai dingin, aku bisa melihat hamparan air biru dari tempatku duduk. Latar alam yang nyata dalam menjernihkan pikiran satu alasan menyelam adalah hobiku. Maura gantian menatap.

“Setelah ini mau pindah kemana?”

Aku menyeringai, hampir lupa dengan kepindahan.

Sepuluh tahun di Amerika sayangnya aku baru tau ada tempat tenang seperti ini hanya beberapa hari saat akan pindah benua.

“Belum memastikan akan kemana yang pasti dekat laut.”

That’s right, dekat laut berarti kau sudah memastikannya.” lirih Maura mengejek.

Ah, biarkan saja ia mengejek separuh hati aku berkata pada diri sendiri.

Pertemuan ke-limabelas

Suhu hari ini diperkirakan yang paling tinggi selama musim panas. Walau cuaca terik aku berlari cepat menerobos garis pantai menuju kedai. Semalam Maura berpesan untuk menitipkan kedainya padaku sesuai dugaan sudah ada tiga orang menunggu di depan kedai. Beberapa kucing langsung masuk sesaat pintu terbuka begitupun dengan pengunjung tampak lebih ramai dari kemarin. Sedikit kewalahan aku bolak-balik dari dapur ke ruang depan mencatat pesanan sembari memasak.

Dua jam berlalu kedai tak kunjung lengang. Keringat membasahi peluh aku bertekad akan menyelesaikan pekerjaan ini sampai waktunya selesai.

“Pengelolanya pergi meminta perpanjangan sewa kedai sungguh disayangkan bila ditutup padahal tempatnya nyaman dan enak.”

Terdengar obrolan dari pengunjung saat aku mengantar makanan ke meja luar.

“Tolong bilang pada pengelolanya jangan ditutup hanya kedai ini tempat singgah kami.” Kali ini pengunjung yang aku antar makanannya berkata.

Aku balas kikuk. “i, iya, nanti saya sampaikan.”

Dari kaca jendela dapur tempatku berdiri melihat anak-anak kecil bermain istana pasir, orang-orang dewasa berenang dan lansia duduk bersantai atau berbincang tetap pikiranku tertuju pada hal apa yang bisa aku bantu untuk mempertahankan kedai Maura ini.

Pertemuan ke-enambelas

Setengah hari Maura berada di kedai dan kembali menemui pemiliknya. Tak ada percakapan hangat yang biasa kami obrolkan hanya mengedarkan pandangan ke arah masing-masing. Kulihat Maura yang kesusahan meraih kotak kecil di atas rak perabotan dapur.

“Bagaimana perkembangannya?” aku bertanya. Sedikit berjinjit untuk membantu Maura mengambil kotak.

“Kemarin banyak pengunjung yang meminta kedai jangan ditutup.”

Maura menghembuskan napas tenang. “Aku tidak yakin. Bila akhirnya harus ditutup bukan hendak dariku terlalu banyak kenangan ada disini. Kau jelas bisa lihat itu, semoga dengan sedikit usaha akan mendapatkan hasil yang baik.”

Sekali lagi, ia menghembuskan napas secerca senyuman melengkung di sudut bibirnya.

“Maaf telah merepotkanmu titip kedai selagi aku pergi.”

Aku balas mengangguk tak luput menatap kepergian punggungnya yang semakin menjauh.

Ada yang berbeda pada Maura, sepasang matanya menunjukkan kesedihan bukan berhubungan dengan masalah kedai tetapi hal lain yang ditutup rapat, buatku tidak bisa menerka-nerka apalagi aku orang baru di kehidupannya yang ditugaskan untuk membantu dan menjaga kedai.

“kenapa aku penasaran? seperti bukan diriku yang biasanya saja.” gumamku. Dua ekor kucing masuk bulu lembutnya menyentuh tangan.

Sungguh manis pasti mereka penghilang kepenatan Maura selama sendirian di kedai.

Sopan tidak bila aku mencari tau ‘hal lain’ yang dimaksud kemudian aku akan dijuluki stalker dan endingnya kami bermusuhan. Eh, jadi dramatis. Mungkin itulah yang disebut  ketertarikan tetapi kepada siapa? Maura?

Kini kucing-kucing tadi pindah berguling dipojokan teras menyambut kedatangan pengunjung.

Pertemuan ke-tujuhbelas

“Kau beralih hobi ke selancar?” Maura bertanya ketika aku masuk ke kedai menaruh papan selancar di atas meja. Tampaknya kedua mata Maura terlihat bengkak.

Aku tidak menjawab lebih tertarik bertanya keadaannya. “Apa terjadi sesuatu padamu?”

Gantian ia yang tidak menjawab menyibukkan diri dengan memasak. Bila kesederhaan dapat merubah kebahagiaan mungkin manusia di muka bumi akan damai. Sama seperti melihat wajah damai Maura. Contoh perempuan mandiri dengan pandangan modern. Terik matahari pagi menerpanya, diam-diam aku memperhatikan. Ia menutup silau cahaya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menata makanan ke piring. Jujur aku cukup terkesima.

“Katanya kalau melihat lebih dari satu menit akan bikin jatuh cinta, kuharap kau tidak percaya pada ungkapan itu.”

Maura tertawa kecil seraya membawa nampan ke meja pengunjung.

Terbesit rasa malu di wajahku secara kontan memerah. Tapi, tau darimana lebih dari satu menit menurutku hanya beberapa detik. Gawat aku lupa menanyakan kembali keadaannya.

Pertemuan ke-delapanbelas

Deretan bibir pantai dipenuhi wisatawan yang berjemur. Sekarang jam satu siang waktu untuk menyelam ke laut, aku siap membawa perlengkapan serta alat oksigen. Membawa tubuh untuk melihat dasar laut tanpa berpikir dua kali aku langsung menceburkan diri. Dengan cari ini definisi kebahagiaanku, tiap orang memiliki caranya bukan?

Aku berdecak kagum. Bagaimana bisa terumbun karang, tumbuhan dan makhluk laut hidup selaras tanpa perlu takut dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Itu artinya dalam pandangan hidup pasti ada yang ingin mengusik tetapi kamu masih bersyukur atas kehidupan yang dimiliki karena hidup untuk dilalui sendiri bukan orang lain.

Entah sudah kedalaman berapa meter posisiku berada dan suhu air laut juga semakin tinggi, aku dapat merasakan dari pori-poriku. Pasti cuaca menyentuh angka lebih tigapuluh tiga derajat Selsius.

Setelah puas menyelam aku kembali naik ke atas permukaan mendapati Maura yang berteriak memanggil. “Cepat masuk ada yang mau aku bicarakan.”

Kami berdua duduk bersebrangan, menunduk. Tidak ada di antara kami yang membuka percakapan. Gadis di depanku ini menghela napas dan menghembuskannya panjang-panjang.

“Maura,”

“Begini....”

Satu kata menyeruak keluar dari mulut masing-masing. Oh, ternyata kami bebarengan. Cepat-cepat Maura membuang muka sementara aku menyesap juice dan kembali menunduk.

“Kau duluan saja, um... katanya tadi ada yang mau dibicarakan.”

Maura tersenyum lemah mendengar ucapanku. “Begini, mulai besok kedai ini ditutup pemiliknya akan menjual. Menurutmu bagaimana?” katanya putus asa.

Pertemuan ke-sembilanbelas

“Menurutmu bagaimana?”

Pikiranku terpaku pada pertanyaan Maura kemarin, menatap fokus ke bulir-bulir air yang jatuh membasahi pasir pantai. Hujan pertama di musim panas.

“Kau masih berada disini? Pulanglah, lebih baik kau siapkan barang-barang untuk kepindahan besok. Jangan mengharapkan sesuatu yang sudah terjadi.”

“Maura....”

Aku berjeda menahan napas meneliti sejenak raut wajahnya yang semakin muram karena kesedihan. “Apa keadaanmu baik? Kau tampak berbeda akhir-akhir ini, ingin bercerita?”

Maura mengerjap. Tidak menyangka aku akan menanyakan keadaannya lagi setelah kemarin ia mengisyaratkan ke-tidak-sukaan- kemudian berbalik seolah-olah menjaga jarak terhadapku.

“Aku sedang bertanya Maura, memang kita belum lama berteman tetapi aku sungguh khawatir,”

“Pertanyaan terakhir. Apa keadaanmu baik-baik saja?” tanyaku meyakinkan. Rasa frustasi menjalar. Frustasi melihat wajah sedih Maura. Frustasi karena tidak bisa berbuat apapun hanya melihat masalah yang dialami Maura. Dan frustasi karena Maura perlahan menutup diri dariku.

Maura mengigit bibir dengan susah payah menormalkan emosi. Air mata mulai membayang di matanya. “Sudah aku katakan tadi, jangan mengharapkan sesuatu yang terjadi. Anggap saja keadaanku dalam baik hanya sedikit kecemburuan dengan hidupmu.”

Namun aku mengernyit bingung. “Maksudmu?”

“Pemilik kedai ini punya ayahku beliau sengaja menjualnya agar aku tidak bisa menolak sekolah di jurusan yang pilihnya. Aku mau hidup sepertimu dengan tanggung jawab dan rasa bahagia atas apa yang dijalankan. Begitulah sederhana dalam kebahagiaan.”

Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung tanpa berkedip menatapnya.

Pertemuan ke-duapuluh

“Maura, kaukah itu?” seruku. Bayangan Maura diterpa pantulan sunrise.

“Oh, tak kusangka kau datang,” Maura balas berseru sambil menjinjing sepatunya berjalan mendekat. 

“Pemandangannya bagus sekali dengan aroma laut yang menenangkan.”

“Kuharap kita punya waktu pertemuan yang lebih lama. Maaf sudah buatmu khawatir.”

Aku menggeleng. “Tidak masalah. Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu.”

“Untuk?”

Senyumku mengembang. Meski sulit harus pindah dan meninggalkan Amerika serta teman baruku yang selama duapuluh hari selaluku lihat, aku mendapati semua hal yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Menghabiskan waktu untuk memiliki pandangan dari sisi berbeda. Itulah yang dirasakan olehku.

“Atas waktu bersama yang berkesan dan menyenangkan.”


***

Waktu memang berlalu begitu cepat hanya kenangan-kenangannya saja yang tertinggal. Namun, aku tau bahwa waktu akan berpihak terhadap takdir. Dan kali ini aku yakin akan ada saatnya untuk kita bertemu lagi sejak satu tahun. Suara co-pilot memberitahukan pesawat sudah mendarat lancar bersamaan itu pula aku melepas sabuk pengaman di kursi. Dari luar jendela tatapanku mengamati pegawai maskapai yang sibuk menggeluarkan barang-barang dari bagasi.

Salah-satu makna pencarian diri yang bisa dipelajari; keinginan dan impian dalam menjalankan hidup bukan berarti suka atau tidak suka tergantung bagaimana kita memandang kebahagiaan dengan cara sederhana, itu tandanya kita akan baik-baik saja. 

You May Also Like

0 comments