Sebelumnya... Dibawah Awan
Nindi menyeka ujung-ujung matanya setelah Tivon selesai menceritakan sosok Aurora kekasihnya. Setengah jam lalu taman ini sudah lengang. Cuma terlihat orang yang berlalu-lalang saja. Tivon memberikan buku yang ingin Nindi lihat di perpustakaan tadi.
“Nih, kamu bisa pinjam kapanpun. Thanks udah mau mendengar obrolan suntuk gue. Hey, kamu nggak apa kan?” Tivon menatap tajam. Menyelidik.
“A-pa?!”
“Kok balik nanya. Ini mau sore mendingan kamu pulang ntar pacarmu nyariin.”
“Nggak! Stop! Jangan sebut itu lagi!!”
Pria berkulit kecoklatan ini terkejut melihat reaksi yang dilontarkan gadis di sebelahnya ia tidak bertanya lebih lanjut, terdiam dengan pikiran masing-masing. Langit sore masih berwarna biru yang sedikit ditutupi oleh awan. Seketika, seperti luka yang tiba-tiba disentil, Nindi langsung tersadar. “Cih, endingnya nggak happy. Lama banget jadi nunggunya. Untung Aurora nggak sejahat itu,” serunya menoleh ke Tivon sambil menyibakkan anak rambut yang diterpa oleh angin.
“Begitulah... Ayo kita duduk disana saja.” Tivon tersenyum kecil membantu Nindi berdiri. Lalu, keduanya berjalan menuju kursi yang disediakan di taman.
“Gue bingung, apa sebenarnya kamu punya kepribadian ganda?”
Nindi terkikik. “Elo ini benar-benar bebal. Geli tau!”
“Serius!”
Bukannya malah menjawab Nindi sibuk membenarkan tali sepatunya, membuat Tivon kian bete. Nindi tampak menimbang-nimbang sesuatu berdiri mendekati airmancur yang terdapat di kolam kecil. “Sudahlah, gue memang begini kok. Jangan dibikin ribet gitu,”
“Maaf ya tadi gue nggak suka soal elo tanyain pacar. Gue hanya nggak mau mengharap yang lebih dan ujungnya sesaat.”
Tivon tersenyum memaklumi. Percayalah, hal yang menakutkan di dunia ini adalah merasa kehilangan. Kehilangan atas apa yang mereka perjuangkan juga atas dasar yang mereka sayangi. Nindi menatap kosong langit sore, langit di penuhi awan-awan yang bergerak dengan sempurna.
Tivon memalingkan wajahnya tak bisa berkata lagi kemudian menelan ludah. Dia merasa nyaman saat gadis ini bawel terus-terusan berbicara daripada yang berdiam dengan tatapan kosongnya.
“Kalo kamu nggak keberatan... sekarang giliran gue yang harus dengar curhatan” Nindi mengernyitkan dahi tapi sedetik kemudian tersenyum kepada Tivon.
Cinta pertama atau apalah ini dimulai saat aku baru menyadarkan ketulusannya. Empat tahun lalu, aku tidak tau apakah aku yang meninggalkan dia atau sebaliknya. Karena kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Meninggalkan yang aku maksud bukan kekecewaan tapi rasa takut. Takut? Ya mungkin. Namanya Reno. Pemuda yang aku kenal lewat chatting dan ternyata temanku temannya juga.
SMS tiap hari masuk di handphone ku tak pernah absen selalu saja dari Reno. Ntah itu obrolan bahkan hal tidak penting sekalipun. Hari-hari berikutnya, masih sama SMS dari dia apalagi Reno makin perhatian kadang melibatkan aku dalam aktifitas layaknya pacar. Terkadang bisa dewasa untuk menempatkan suasana orang lain. “Jangan pernah ragu kalo belum mencoba, main drum itu dari hati nggak sulit kok, nanti Reno ajarin.” Dia berkata di seberang telpon saat aku kepengen belajar nge-drum dengan nada ragu.
Gemetar tanganku membuka SMS darinya yang sudah lama Reno tidak mengabarkan.
“Maaf jangan marah ya, Reno kemarin masuk rumah sakit, yuk SMS lagi.”
Aku menghembuskan napas legah tapi sedikit khawatir. Hari berikutnya. Reno seperti memberi kode untuk menyatakan perasaannya. Dia menyukaiku. Terlalu polos aku mengartikan sampai-sampai menyuruhnya untuk jadi teman saja. Di hari yang berbeda dia antusias memikirkan rencana buat ulang tahun kami di bulan yang sama padahal itu masih lama. Benar-benar romantis. Hari berikutnya Reno menghilang. Aku memaklumi. Seminggu setelah itu aku nekad terus mencoba menghubunginya.
Aku tertegun menerima sebuah SMS. “Ini mamanya, maaf, untuk sekarang Reno tidak boleh diganggu dalam penyembuhan sakit.” Merasa Reno adalah pria tulus dari pria yang aku temukan dalam putaran perasaan yang tidak mengerti ini semakin lama aku mencintai dia. Tapi dia lah juga yang meninggalkan berjuta pertanyaan membuatku harus melupakannya.