CERPEN: Dibawah Awan

by - 22.7.13


Cerita pendek ini fiksi. 
Sebagian di antaranya ditulis ulang dan terinspirasi
dari beberapa kisah lainnya. 

====

Perpustakaan di sudut taman kota itu sepi. Nyaris semua orang tidak tertarik untuk sekedar mampir. Hanya ada empat-lima orang saja yang berkutat dengan bacaannya. Padahal di sini pengunjung bisa merasakan kesejukan yang asri. Keheningan di ruangan perpustakaan berangsur-angsur terpecah oleh celotehan seorang gadis. Gadis itu mengibaskan tangannya kasar karena belum menemukan buku yang dicari. Terus membolak-balik buku di rak dan berjalan ke rak lainnya. Masih sama. Kesal. Di saat bersamaan pria di depannya malah tidak peduli dengan keadaan di sekitar. 
        “Mas! Serius banget bacanya. Boleh gue lihat bentar nggak itu buku.” kata Nindi.
        Pria itu menoleh sesaat.
        “Boleh ya mas masalahnya gue lagi ada tugas tapi bukunya nggak ada mung__”
      “Bisa sedikit saja menjauh dan jangan bawel!!” potong sang pria geram. Ia mendengus pendek. Mendelik sekilas pada manusia di hadapannya. Nindi nyengir. “Iya, maaf. Gih, lanjutin mas bacanya.”
        Semejak dua jam yang lalu pria bernama Tivon ini memilih duduk di bangku paling belakang dekat jendela. Tanpa sedikit pun menyadari, gadis bersepatu kets yang tidak dikenal ini langsung ikut duduk di sampingnya. Gadis bawel. Bukan salah-satu tipe dari Tivon. Nindi menatap lirih wajah Tivon. Mencari setiap celah untuk membuatnya bersahabat. Kini jarak wajah keduanya cuma tiga centimeter, begitu sampai pada binar matanya, Nindi kini tau bahwa ada sesuatu yang tulus dari Tivon. Ia kikuk.
        “Apa ada perasaan amat rindu...,” gumam Nindi dia terdiam sejenak. “sangat, sangat, sangat rindu.” Tivon tertegun tidak minat lagi dengan bacaannya.
        “Menginginkan kembali untuk bersama, elo jangan tolol.”
        Suasana hening. Tivon tampak bingung, siapa sebenarnya ini gadis? Pernyataan itu berputar di otaknya. Tivon merasa dirinya sudah tidak waras seperti mencium gelagat yang akan membuka kesedihan. Tiba-tiba, Nindi bangkit dan berjalan menghampiri pintu keluar yang sebelumnya sempat memberikan seutas senyuman.

***


        “Kenapa ketawa.” Tivon cepat memotong sebelum tawa gadis itu makin pecah.
        Nindi menggeleng kecil. “Lucu aja,” sahutnya pendek. “Lagian elo nanya aneh sih, kalo gue malaikat atau hantu mana bisa ngomong sama manusia.” Sebenarnya tadi Nindi ingin pamitan pulang tapi Tivon malah menyuruhnya untuk mengobrol di taman samping perpustakaan. Setelah berdehem beberapa kali barulah pemuda itu tersadar dari lamunan.
        “Udah pernah merasa kehilangan nggak?”
        Tepat bersamaan dengan pertanyaan Tivon tersebut Nindi merasakan dirinya lemah. Seandainya bisa menangis di depan orang yang sudah lama dikenalnya ia akan menangis detik itu juga tapi pria ini terlalu asing buatnya. Keheningan kembali menguasai mereka. Seperti pepatah ‘diam adalah emas’ memang tidak berlaku pada suasana sekarang. Lagipula harusnya Nindi bisa mencairkan suasana dan ntah mengapa pertanyaan tadi mampu buat ia sulit berkata-kata.
        “Kok diam. Memang banyak orang risih kalo dengar kalimat kehilangan.”
        “Eh? Ya, ampuuun apa gue kelihatan risih ya,” keluh Nindi sambil meraba mukanya. Tivon melongo semakin bingung dengan gadis itu. Gadis berkepribadian ganda sebentar bawel, sebentar marah, dan sebentar lagi sedih. Begitu mendekati pelantaran luas  berwarna hijau Tivon langsung menjatuhkan tubuh di rerumputan supaya bebannya terasa ringan. Nindi berdiri disamping Tivon sambil memperhatikan jam di pergelangan tangannya.
        “Ngapain disini? Gue harus pulang nih.”
        “Duduklah, gue masih ingin ngobrol denganmu.”
        Tivon menghela napas. “Rasanya... terkadang rindu buat gue menginginkan dia. Sekarang.., dia hanya bisa gue temui di doa saja. Tuhan sangat sayang dengannya, jadi bidadari di surga sana.” Tak ayal, hal itu membuat Nindi terkesiap dan ikut tiduran di rerumputan seperti yang dilakukan Tivon tadi. Gadis berambut sebahu ini merasa iba.
        Sejenak Tivon memejamkan mata, menekan rasa sakit yang juga terasa di dada. “Sampai detik ini, perasaan gue tidak pernah berubah padanya. Tidak ingin berpikir untuk mencari penganti di__”
        Nindi langsung memotong. “Jangan egois cobalah berdamai pada keadaan dulu.”
        “Mungkin iya, gue akan mencobanya perlahan,” Tivon menarik napas panjang.


Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya aku mengantar dia ke rumah sakit untuk pengobatan kemoterapinya. Bagiku ia gadis kuat tidak sedikitpun mengeluh dengan sakitnya dan tidak juga cengeng. Aku tertawa lebar. Nyengir. Dia ikut tersenyum sambil memandang bibir pintu menuju ruangan buat kemo. “Kamu pasti sembuh anggap aja ruangannya tempat orang yang sayang sama Aurora...” Aurora mengangguk.
        Aku memutuskan untuk pura-pura tegar dihadapannya sebisa mungkin tidak pernah menunjukkan wajah kesedihanku karena dia sangat benci itu. Malam harinya. Aurora sudah duduk di teras rumahnya mengajak makan malam bersama keluarga. Ia sendiri yang memasak. Lantas riang menuju ke balkon membawa kue tart.
        “Sori Von... Ergh... aku memang nggak jago buat bikin kejutan, jadi seadanya.”
        Sementara aku menatap mata sayu teduhnya. “Nggak apa. Makasih ya.”
        Aurora balik menatap lemah wajahku. “Tuhan itu adil ya Von. Andaikata aku tidak pernah mengenalmu dan orang-orang yang amat berarti, mungkin itu lebih buruk dari penyakitku ini. Tau nggak aku sampai sholat tahajud lho buat pertemukan kamu biar bisa menemaniku mencari kebaikan. Membantuku menyemangati hidup dan berusaha menyembuhkanku. Kamu jangan berubah... tetap terus jalani hidup,”
        “Kamu boleh rindu tapi hargailah waktu.” Lanjutnya. Aku mengenggam tangannya yang dingin. Lihat! tidak ada airmata di pipi Aurora.  Dia benar-benar hebat. Entahlah Aurora malam ini lebih cantik dari biasanya. Pemandangan yang membuatku takzim tetapi hanya pada malam itu. Besoknya aku Cuma bisa melihat Aurora di doa dan mimpiku. Untuk selamanya.



bersambung... dibawah awan (end)

You May Also Like

0 comments