CERPEN: Dibawah Awan (End)

by - 19.9.13

Sebelumnya... Dibawah Awan


Nindi menyeka ujung-ujung matanya setelah Tivon selesai menceritakan sosok Aurora kekasihnya. Setengah jam lalu taman ini sudah lengang. Cuma terlihat orang yang berlalu-lalang saja. Tivon memberikan buku yang ingin Nindi lihat di perpustakaan tadi.
        “Nih, kamu bisa pinjam kapanpun. Thanks udah mau mendengar obrolan suntuk gue. Hey, kamu nggak apa kan?” Tivon menatap tajam. Menyelidik.
        “A-pa?!”
        “Kok balik nanya. Ini mau sore mendingan kamu pulang ntar pacarmu nyariin.”
        “Nggak! Stop! Jangan sebut itu lagi!!”
        Pria berkulit kecoklatan ini terkejut melihat reaksi yang dilontarkan gadis di sebelahnya ia tidak bertanya lebih lanjut, terdiam dengan pikiran masing-masing. Langit sore masih berwarna biru yang sedikit ditutupi oleh awan. Seketika, seperti luka yang tiba-tiba disentil, Nindi langsung tersadar. “Cih, endingnya nggak happy. Lama banget jadi nunggunya. Untung Aurora nggak sejahat itu,” serunya menoleh ke Tivon sambil menyibakkan anak rambut yang diterpa oleh angin.
        “Begitulah... Ayo kita duduk disana saja.” Tivon tersenyum kecil membantu Nindi berdiri. Lalu, keduanya berjalan menuju kursi yang disediakan di taman.
        “Gue bingung, apa sebenarnya kamu punya kepribadian ganda?”
        Nindi terkikik. “Elo ini benar-benar bebal. Geli tau!”
        “Serius!”
        Bukannya malah menjawab Nindi sibuk membenarkan tali sepatunya, membuat Tivon kian bete. Nindi tampak menimbang-nimbang sesuatu berdiri mendekati airmancur yang terdapat di kolam kecil. “Sudahlah, gue memang begini kok. Jangan dibikin ribet gitu,”
        “Maaf ya tadi gue nggak suka soal elo tanyain pacar. Gue hanya nggak mau mengharap yang lebih dan ujungnya sesaat.”
        Tivon tersenyum memaklumi. Percayalah, hal yang menakutkan di dunia ini adalah merasa kehilangan. Kehilangan atas apa yang mereka perjuangkan juga atas dasar yang mereka sayangi. Nindi menatap kosong langit sore, langit di penuhi awan-awan yang bergerak dengan sempurna. 
       Tivon memalingkan wajahnya tak bisa berkata lagi kemudian menelan ludah. Dia merasa nyaman saat gadis ini bawel terus-terusan berbicara daripada yang berdiam dengan tatapan kosongnya.
       “Kalo kamu nggak keberatan... sekarang giliran gue yang harus dengar curhatan” Nindi mengernyitkan dahi tapi sedetik kemudian tersenyum kepada Tivon.



Cinta pertama atau apalah ini dimulai saat aku baru menyadarkan ketulusannya. Empat tahun lalu, aku tidak tau apakah aku yang meninggalkan dia atau sebaliknya. Karena kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Meninggalkan yang aku maksud bukan kekecewaan tapi rasa takut. Takut? Ya mungkin. Namanya Reno. Pemuda yang aku kenal lewat chatting dan ternyata temanku temannya juga.
       SMS tiap hari masuk di handphone ku tak pernah absen selalu saja dari Reno. Ntah itu obrolan bahkan hal tidak penting sekalipun. Hari-hari berikutnya, masih sama SMS dari dia apalagi Reno makin perhatian kadang melibatkan aku dalam aktifitas layaknya pacar. Terkadang bisa dewasa untuk  menempatkan suasana orang lain. “Jangan pernah ragu kalo belum mencoba, main drum itu dari hati nggak sulit kok, nanti Reno ajarin.” Dia berkata di seberang telpon saat aku kepengen belajar nge-drum dengan nada ragu.
       Gemetar tanganku membuka SMS darinya yang sudah lama Reno tidak mengabarkan.
       “Maaf jangan marah ya, Reno kemarin masuk rumah sakit, yuk SMS lagi.”
       Aku menghembuskan napas legah tapi sedikit khawatir. Hari berikutnya. Reno seperti memberi kode untuk menyatakan perasaannya. Dia menyukaiku. Terlalu polos aku mengartikan sampai-sampai menyuruhnya untuk jadi teman saja. Di hari yang berbeda dia antusias memikirkan rencana buat ulang tahun kami di bulan yang sama padahal itu masih lama. Benar-benar romantis. Hari berikutnya Reno menghilang. Aku memaklumi. Seminggu setelah itu aku nekad terus mencoba menghubunginya.
        Aku tertegun menerima sebuah SMS. “Ini mamanya, maaf, untuk sekarang Reno tidak boleh diganggu dalam penyembuhan sakit.” Merasa Reno adalah pria tulus dari pria yang aku temukan dalam putaran perasaan yang tidak mengerti ini semakin lama aku mencintai dia. Tapi dia lah juga yang meninggalkan berjuta pertanyaan membuatku harus melupakannya.




Saat Nindi selesai menceritakan pria bernama Reno itu, Tivon langsung mengenggam tangan Nindi mencoba menenangkannya.
       “Lucu deh, baru pertama merasakan cinta langsung jatuh kesandung...” Nindi tertawa getir sambil melepaskan genggaman tangan Tivon tadi.
       Tivon membalas dengan senyuman sedih. “Kuharap kamu hilangkan sikap sok kuat itu. Biasanya cewe kalo udah cerita soal cinta nangis-nangis, mau dimanja, diperhatiin atau apalah minimal ingin pinjam pundak gitu.”
       “Oh-ya? Emang harus?”            
       “Benar-benar bebal.” Terang Tivon dengan nada suara seperti Nindi.
       Nindi terlihat bingung tapi diam-diam dia tersenyum senang, ternyata pria yang diduganya makhluk super dingin ini bisa juga membuat lelucon yang sebenarnya mencoba untuk menghangatkan suasana. Beruntungnya Aurora pasti tiap saat ada saja kejutan dari si Tivon ini. Percayalah, hal yang membahagiakan di dunia ini adalah kenyamanan. Kenyamanan atas apa yang mereka saling bertukar cerita juga atas dasar yang mereka rasakan bersama-sama.
       Sekarang, jalanan di depan mereka sudah sepi. Mungkin sebentar lagi turun hujan. Di antara keduanya masih terus menyibukkan pikiran. Entahlah apa yang sedang dipikirkan. Nindi menoleh sebentar menatap pria itu lalu mendongakkan kepala ke atas, kini awan telah berwarna kelabu.
       “Melamun?”
       Mendengar suara Nindi, Tivon menyuggingkan senyum lebar.
       Alis Nindi terangkat sebelah. “Ditanya malah senyam-senyum nggak jelas, pernah tau nggak?” Nindi melanjutkan ucapannya. “Kalo senyuman elo itu kayak anak sastra lagi modus di buku pribahasa.”
       “Gue memang anak sastra kok.” Kata Tivon terkekeh.
       “Tapi jangan khawatir gue bukan tipe sastrawan yang modusnya di buku-buku pribahasa.”
       Nindi mengangkat bahu. “Percaya deh.” Kali ini Nindi tertawa.
       Tetesan air menyentuh hidung Nindi di tatapnya langit yang sudah menumpahkan rintik hujan. Angin pun semakin kencang. Perlahan Tivon sudah menarik pergelangan tangan Nindi berteduh di bawah pohon besar. Deras hujan telah membasahi keduanya.

***


       “Jadi hari ini elo terakhir di Indonesia? Dan malam ini berangkat?”
       “Ya, bagaimana menurutmu?”
       Nindi memiringkan kepala dan tersenyum sedih. “Elo bisa. Impian harus dikejar lagian sudah setengah jalan kan. Gue bukannya ingin melarang, gue cuma nggak mau merasa kehilangan lagi.”
       Pelan Tivon menghembuskan napas. Seharusnya ia tidak mengatakan seperti itu karena Tivon tau jawaban yang akan diterimanya. Tivon melirik Nindi yang sedang merapikan rambutnya yang lembab dan mengikuti arah mata gadis itu menatap hujan yang mulai reda.
       “Nggak, kamu nggak akan menanggung perasaan kehilangan lagi sendirian, gue akan bersamamu,” gumam Tivon. “Telah banyak kebahagiaan yang datang. Awalnya gue hanya belajar merangkai kata sastra lalu Tuhan mengizinkan gue untuk mencintai wanita dengan tulus, mencintai hatinya yang kekal walau dalam waktu singkat. Menyenangkan sekali. Pada saat itu gue juga diizinkan Tuhan untuk merasa kehilangan dengan tetap terus menjalanin kehidupan. Sangat menyenangkan. Kemudian Tuhan mengizinkan gue tentang pertemuan yang nyaman. Gue bertemu kamu, kenyamanan abadi walau dalam waktu singkat. Menyenangkannya nggak bisa diucapkan.”
       Tivon mengacak gemas rambut Nindi sambil melanjutkan perkataannya. “Pertemuan singkat nggak melulu berhubungan sama kehilangan. Kadang pertemuan singkat itulah yang membuat kenyamanan dan kebahagiaan. Buat apa harus takut?”
       Hening sejenak, Nindi menyimak setiap perkataan Tivon. Ternyata benar pria itu sastrawan sepertinya ia terkesima dan bukan modusan dibuku pribahasa.
       Nindi mengangguk. “Nggak nyesel diajak ngobrol oleh anak sastra. Makasih ya.”
       “Sama-sama, makasih juga buat waktunya.” Tivon beringsut mendekati Nindi lalu mendekapnya, tangis Nindi pun pecah ia bersandar di pundaknya dan menangis pelan. “Semuanya akan baik-baik saja,” Tivon bergumam lirih kepada Nindi yang sedang menghapus air mata. Ia mempererat pelukan dan menghela napas dalam-dalam.


       Kembali ke New York. Itulah yang dikatakan Tivon tadi meminta pendapat ke gadis ini tentang kehidupan barunya disana sebagai Sastrawan Inggris. Tetapi kenapa Nindi harus menangis malah membuatnya semakin kehilangan? Bagaimanapun juga, Tivon telah mengembalikan kenyamanannya. Awan-awan tidak lagi berwarna kelabu berganti langit yang telah dihiasi siluet senja. Kursi-kursi taman masih terlihat basah, lampu penerangan jalan sudah dihidupkan dan kendaraan berlalu dengan kecepatan pelan. Nindi melepaskan pelukannya.
       “Lihat ke langit deh, indah banget. Gue suka berada di bawah awan seperti kejutan. Tiba-tiba dia bersinar diterpa matahari, kelabu saat hujan, melukis bersama pelangi tapi berwarna jingga saat memamerkan siluetnya.” Nindi mengedipkan matanya sembari tersenyum riang.
       Mata Tivon menatap lurus ke langit. “Hmm. Iya, karena di bawah awan lah kita selalu bersyukur atas nikmatNya coba kalo di atas awan Tuhan pasti menatap miris apa yang dilakukan oleh manusia di bawah sana.” tambah Tivon. Nindi tersenyum kecil begitu juga Tivon membalasnya.


       Taksi yang akan ditumpangi Tivon sudah terparkir di seberang jalan. Tivon melirik jam tangan. Memang sudah hampir pukul setengah tujuh malam, satu setengah jam lagi pesawatnya berangkat. Tivon kembali menoleh kepada Nindi. “Ini buku yang ingin kamu pinjam di perpustakaan tadi kan? Sebenarnya gue beli, nih ambil, buatmu saja.”
       Nindi menerimanya. Senyum Tivon mengembang. “Oke. Kamu harus percaya ya apa yang gue bilang tentang pertemuan tadi. Baiklah gue harus pamit. Oh, dan terima kasih untuk semuanya hari ini.”
       “Terima kasih karena sudah mengajarkan kata-kata berharga,” balas Nindi.
       “Dan, baik-baik ya di New York!”
       Waktu berlalu dengan cepat ketika seseorang merasakan bersenang-senang. Itulah yang dirasakan mereka. Menyadari bahwa pertemuan singkat adalah saat-saat paling berkesan baginya. Bersama dalam kenyamanan, mereka mendapati diri masing-masing bisa melupakan masa lalu mengenai kehilangan, menikmati tiap obrolan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan yang tidak dirasakan sebelumnya yaitu hal yang dikiranya menakutkan walaupun hanya sejenak. Bahkan tanpa mengetahui siapa nama di antara keduanya.




-selesai-

You May Also Like

0 comments