Me of Colorful

Oleh Darwis Tere Liye

Orang dewasa, saat ditanya, kenapa kita belajar menulis? Kalau jawabannya: agar bisa menerbitkan buku. Maka itu benar-benar membelokkan tujuan mulia dari menulis. Saat ditanya, kenapa kita belajar memasak? Kalau jawabannya: agar bisa jadi master cheft, punya restoran mahal, maka itu juga benar-benar membelokkan tujuan mulia dari memasak. Orang dewasa, saat ditanya, kenapa sekolah tinggi-tinggi? Kalau jawabannya: agar bisa kaya raya, berkuasa, maka itu benar-benar membelokkan tujuan mulia dari mencari ilmu.

Anak-anak, saat ditanya, kenapa kita belajar naik sepeda? Tidak ada anak-anak yg akan menjawabnya, agar bisa jadi pembalap sepeda, bisa ikut tour de france. Kebanyakan akan menjawab karena senang saja, karena ingin bermain sepede bersama teman yang lain. Simpel, tapi menjelaskan tujuan yang mulia. Juga saat belajar main bola, berenang, anak-anak akan menjawabnya sederhana. Atau bilang ingin seperti Om Messi, Om Ronaldo, tapi maksud mereka main bolanya seperti dua Om itu, bukan gaya hidup, kaya raya--orang dewasalah yang kadang menakjubkan begitu jauh mikirnya. Kenapa kita lupa betapa sederhananya waktu dulu kita jadi anak-anak? Kita belajar merangkak, buat apa? Kita belajar berjalan, buat apa? Kita belajar berlari, buat apa? Kita lakukan saja, dengan senang hati. Dan berhasil semua. Tidak ada yang gagal belajar waktu kecil, bukan? Mayoritas sukses semua. Itu benar, kita kadang digoda dengan cokelat, mainan oleh orang tua, dan kita tertawa patah-patah melangkahkan kaki mendekat, tapi mana ada anak kecil yang perhitungan sekali saat belajar. 

Saya tidak tahu, pada detik ke berapa kita mulai punya pemahaman yang terbalik soal proses belajar ini. Entahlah. Siapa yang memulainya, siapa yang menanamkannya. Karena menurut hemat saya, akan indah sekali, saat semua orang belajar menulis, misalnya, dia simply hanya ingin menulis, dan terus, terus, terus menulis. Kesuksesan akan datang sendiri. Buku-buku akan terbit. Dan berbagai milestone lainnya. Kenapa kita belajar tinggi-tinggi untuk jadi dokter? Akan sangat indah saat orang-orang hanya ingin menjadi dokter yang baik, membantu banyak orang. Kesuksesan akan datang sendiri. Kaya, terkenal. Bahkan saat kita tolak semua materi tersebut, kita menjauh, urusan duniawi itu tetap mendekat-dekat.

Ini kesekian kali saya menulis tentang hakekat proses belajar. Maka semoga satu-dua saja paham, mulai memutuskan menyukai sekolahnya, kuliahnya, sebenar-benarnya karena ingin mencari ilmu, itu sudah sebuah langkah awal dari sebuah proses panjang yang menyenangkan. Se-aneh apapun pilihan jurusan kita, setidak terkenal, dianggap remeh, kita tetap bisa menjadi yang terbaik jika tujuannya memang belajar dan menjadi terbaik di bidang itu. Lakukan dengan riang, lakukan tanpa beban, dan kita lihat hasilnya.

Pegang tulisan ini, dan silahkan cerita 10-20 tahun lagi. Apakah rumus ini keliru atau benar.



*Just short info's for you, thanks!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebelumnya di Part 1



“Yap, dan dia seperti ‘welcome’ atas kerjasama ini. Gue ngerasa berterima kasih atas idenya.” Tit. Wahyu menyudahi percakapan via handphonenya.
     “Kenapa wawancaranya hari ini, kan gue belum ada persiapan apa-apa Yu.” Mita menggeser kursi café melirik Wahyu yang sedang memilih daftar menu.
     “Sebenarnya besok gue harus mengumumkan pemenang artikel jadi bisanya sekarang. Tenang wawancaranya nggak susah kok. Mit, gue pesanin coco lemon rice fried ya?” Wahyu tersenyum lalu waiter berpakaian coklat datang.
     “Berapa mas?”
     “Dua. Minumnya juga dua bubble mint tea.”
     Mita mengernyit takut makanan dan minuman yang dipesan Wahyu tadi beracun
dari namanya saja terdengar aneh. Dia merengangkan tubuhnya sebentar memerhatikan sekeliling cafe,  di setiap sudut terpajang berbagai macam bunga segar sedangkan di depannya ada panggung beserta pemain musiknya. Alunan suara merdu dari biola membuat suasana kian romantis. Seperti dinner bersama pangeran berkuda.
     “Mit… buruan dimakan kok melamun.”
     “Eh, I, iya.” Mita kikuk ternyata
dua menit yang lalu makanan sudah datang.
     “Habis dari sini kita wawancara. Gimana enak nggak pesanannya?”

     “Enak. Tunggu bentar Yu gue mau ke toilet.”
     Setelah di dalam toilet, Mita mendesah kesakitan penyakit asam lambungnya kembali kambuh terkadang tangan kanan dan kirinya bergantian memegangi perut. Inilah yang membuat Mita izin seminggu latihan basket.
     Dua puluh menit berlalu makanan di meja tak sedikitpun di sentuh Wahyu ia tidak bernapsu kalau hanya makan sendiri tapi sudah tiga gelas menghabiskan bubble mint teanya.  Mata Wahyu mencari dimana Mita berada cowok itu khawatir sampai sekarang dia belum balik juga. Wahyu memanggil nama Mita dari depan toilet wanita. Tak lama kemudian pintu ruangan toilet terbuka. Kontan Wahyu kaget melihat kondisi Mita yang terlihat nyaris pingsan.
     “Mita?! Kenapa lo? Maaf gue nggak tau kalau lo sedang sakit.”
     “Hah? Aduh, nggak tau nih ke... napa bisa dadakan begini Yu...” ujar Mita lemas.
     Kontan Wahyu menghampiri Mita kemudian mengendongnya ke mobil. “Udah, diem lo.” Wahyu berucap Mita hanya bisa pasrah saat tubuhnya digendong padahal tadi ia ingin protes. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Mita tidak ada percakapan yang terjadi di keduanya sehingga terdengar sangat jelas suara lagu if you belive yang dipopulerkan oleh Mandy Moore dari radio mobil Wahyu. Kondisi Mita kini lumayan baik walaupun wajahnya masih pucat. Seketika Wahyu merasa ada yang kembali pada dirinya setelah melirik Mita yang tertidur di samping kursi kemudi. Ketenangan.

***

Sejak pukul 06.50 banyak murid-murid yang sudah penasaran sekaligus antusias mengerumuni mading untuk membaca pemenang lomba dan artikel terbaru maklum SMA ini unggulan di bidang sastra dan olahraganya apalagi setiap satu bulan sekali ada majalah sekolah. Lia terus menekuk muka hatinya gusar sama sekali tidak minat dengan artikel itu padahal ia menang. Entah mengapa intuisinya keras mengatakan sekarang dia adalah sahabat egois. Alasan pertama Lia memaksa Mita kembali seperti dulu, kemudian menyuruh Wahyu mempercepat wawancaranya saat itu Mita sedang pemulihan dari sakit dan sekarang ia berkelahi dengannya. Semalam Lia menelpon Mita memaksa supaya besok tetap sekolah karna ada artikelnya terbit lalu Mita menolak tapi ia malah menghardik sahabatnya yang bukan-bukan menyangka bahwa Mita sakit bohongan.
     Begitu Lia melintasi lapangan basket tiba-tiba Wahyu mengadangnya tangan kirinya membawa berkas-berkas map. Membuat Lia menghentikan langkah.
     “Nah, kebetulan Lia, jadi nih berkasnya yang mau di ketik ulang. Selamat juga lo menang artikel.” Ucapnya sambil mencari-cari seseorang.
     “Makasih. Cari apa?”
     Wahyu tersenyum mengusap keningnya yang tidak gatal. “Hehe... Mita mana?”
     “Masih sakit ya. Gue mau kasih ini sama dia, titip salam ya.” Lia mengangguk ragu sesaat mengambil bola kristal hati dari tangan Wahyu. “Oke.”

Pelajaran terakhir sudah sepuluh menit yang lalu. Jadi, jarang ada yang pulang duluan terkecuali para brandal-brandalan sekolah. Untuk murid gossipers langsung beria melanjutkan aksinya di kantin. Sedangkan buat murid teladan masih berkutat dengan aktifitas ekskul ataupun sekedar membaca di perpustakaan. Sebelum pulang Lia masih ngedumel sendiri mengenai kesulitan fisika tadi biasanya Mita lah pahlawannya.
     Bus menepi di pinggir halte Lia bergegas masuk untungnya ia duduk supaya bisa mengangkat handphonenya yang dari tadi berdering.
    “Hallo? Iya mbak. Alhamdulillah... Kapan saya harus berangkat? Oh, Makasih.”  Kini Lia lupa dengan tingkah ngedumelnya beralih berganti kegembiraan di wajahnya.


bersambung... Part 3
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
     “Lusa artikelku terbit loh Mit, kamu harus membacanya!” seru Lia pelan meletakan sejumlah buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan sekolah.
     Sahabatnya tetap terus bergeming menoleh ke arah segerombolan siswi-siswi yang mengejar pria berwajah perpaduan lokal dan import sangat macho. Tipe Mita banget.
 “Sumpah, keren banget si Wahyu itu, cool...” bisik Mita kepada sahabatnya.
     Lia tersenyum tipis.
     “Lia, bisa bantu gue nggak?” pinta Mita tiba-tiba.
     “Apa?” jawab gadis itu sambil membuka buku catatan bercoverkan ‘Friendship of Colour’.
     Ketika membaca kembali lembar-lembar isi buku itu Lia teringat kembali awal pertemuan persahabatannya bersama Mita gadis disampingnya ini. Mereka bertemu pada acara pesta ulang tahun ke-7  Mita. Kedua gadis ini selalu dipertemukan bahkan satu sekolah sampai sekarang
hanya TK saja yang beda. Lia kecil tidak seperiang sahabatnya itu dia mudah sekali menangis. Selanjutnya pada lembar keempat berjudulkan: Cameria dan Camelia.
     Lia tertawa sendiri, sekilas Mita menatapnya.
     “Baca apaan sih?! Eh, iya kamu kan sekretarisnya Wahyu di OSIS, Li... comblangin gue sama dia, makanya bantu gue, tolong ya...” ujar Mita.
     “Insya Allah, aku usahain dulu.”
     Mita mengangguk. Iya, dia percaya sama Lia.
     “Besok temanin aku ke penerbit mau ngirim naskah novel.”
     “Sama Kak Rio aja gue nggak bisa.”
     “Kak Rio belum pulang masih di rumah tante, ayolah Mit.”
     “Sorry.”
     “...”
     Perlahan Lia menyikut air matanya yang mulai terjatuh Mita telah berlalu memasuki ruang kelas tapi ia masih diam berdiri di lorong koridor sampai tanda bel masuk berbunyi. Tanpa mengiyakan peringatan itu Lia berlari menuju WC untuk menenangkan diri.

***

Minggu pagi, Mita duduk diteras lantai dua kamarnya yang berhadapan langsung dengan rumah Lia. Gemercik air hujan semalam membasahi dedaunan samping jendela. Ada embun disana. Diliriknya layar handphone ada pesan pendek yang barusan masuk.

     Maaf ganggu, gue Wahyu. Boleh besok tim OSIS mewawancari keberhasilan basketmu. Kalau boleh gue tunggu di taman belakang sekolah.  Jam istirahat ya Mita.

     Dada Mita bergemuruh. Kakinya melompat kesenangan tak peduli apakah pembantunya akan melihat tingkah aneh anak majikannya ini atau mamanya berteriak karna ada gempa dadakan seperti diberitakan di tv Mita tetap tak peduli. Dia sudah terlalu senang pipinya memerah. Mita bergegas turun ke lantai satu menuju dapur mengambil sisa cake yang dibeli kemarin sore sebagai cemilannya mengerjakan PR Fisika. Sang mama masih sibuk dengan irisan sayurnya sesekali melirik putri kesayangan itu. Dalam bidang akademik dan olahraga Mita memang lebih unggul daripada Lia tapi untuk persoalan karya ilmiah atau tulis-menulis cewek itu tidak lebih baik dari sahabatnya.
     “Kamu berantem sama Lia? Kok dia pergi sendiri ke penerbit nggak bareng kamu.”
     Mita tertegun. “Kami baik-baik saja kok cuma Mita lagi nggak mau sama dia.”
     “Lho kenapa Mit?! Kasihan Lia tadi matanya bengkak seperti habis menangis.” Ujar Mama lembut sambil membalikan ayam goreng dan memberinya sedikit tambahan kecap manis.
     “Ma…”
     “Oh iya, jangan sampai persahabatan kalian rusak hanya karna cinta. Mama cuma mau kamu tau sahabat seperti Lia itu sangat pengertian dan tulus keluarga mereka juga sudah baik sama kita makanya mama khawatir kalau kalian ada masalah.”
     Mita kemudian memilih diam lalu kembali menaiki lantai dua, tak menjawab lagi karena makin lama mamanya makin kepo mau tau urusan anaknya tapi sebenarnya sang mama sangat perhatian.
     Tak lama kemudian, Jazz hitam terparkir di depan pagar rumah. Mita melihat dari balik gorden jendela kamar, ia masih memegang buku Fisikanya. “Mobil siapa itu?” suara getaran handphone membuat cewek ini terkesiap uhh sebuah pesan baru pikirnya.


     Hey, gue sudah di depan rumahmu Mit maaf dadakan datangnya hehe.
    
Deg!

     “Mbak nanti sore naskahnya baru akan kami konfirmasi kalau mau nunggu silahkan.” sapa seorang lelaki berbaju biru dengan ramah salah-satu pegawai dari penerbitan.
     “Iya mas.” jawab Lia sambil tersenyum. Lelaki itupun kembali mengecek naskah-naskah.
     Berbekal buku catatan bercover
‘Friendship of Colour’ yang selalu dibawanya itu, Lia mengusir rasa kejenuhan duduk sendiri disini. Matanya mulai melihat beberapa lembar-lembar yang menempelkan foto serta keterangan di bawahnya.
     4 Januari dua hari sesudah Cameria ulang tahun. Sebuah hadiah bola basket. Tergambarkan dengan jelas gadis kecil berkuncir memberikan kado berupa bola basket kepada temannya yang berulang-tahun dan si teman sangat senang sambil memperlihatkan pipi merahnya. Lia tersenyum hambar. Dilihatnya keterangan di bawah foto. Uh! Cameria menyuruh untuk mengantikan kartu ucapan dengan nama Mita katanya nama Cameria mirip gurunya yang galak. Raut wajah Lia mulai berubah saat melihat foto boneka dilembar berikutnya ia mematung….
     Gadis berambut pendek itu masih memakai seragam putih-biru berlari cukup jauh. “Udah ah, aku nggak mau kamu cengeng bergantung padaku kamu datang saat butuh saja dan boneka ini rusak itu salahmu sendiri.” suaranya meninggi ia sangat marah. Air mata Lia terjatuh ada sesuatu yang membuat hatinya sesak sangat sulit untuk menghembuskan nafas. Pasti perubahan sikap Mita sekarang memang sudah terjadi tapi apa? Tuhan aku hanya mau dia menjadi Mita yang dulu… sebagai sosok sahabat pelindung yang selalu berpikir dewasa…, batin Lia menutup buku catatan itu.


bersambung... Part 2

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts
ana's. Powered by Blogger.

About me



"Semua ditulis atas pendapat ego, filosofi sosial, dan diskusi santai. Tulisan saya tidak istimewa hanya pengingat untuk saya baca ketika sulit berekspresi berharap seperti minuman yang diseduh; menghangatkan."

Social Media

  • LinkedIn
  • Twitter
  • Gmail

Categories

Artikel (2) Cerita Bersambung (10) Cerita Pendek (12) Ceritaku (8) Opini (9) Quotes (12)

recent posts

Blog Archive

  • ►  2024 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2016 (2)
    • ►  May (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2014 (6)
    • ►  December (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
  • ►  2013 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (4)
  • ▼  2012 (10)
    • ▼  December (3)
      • OPINI: Hakekat Belajar
      • CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Part 2)
      • CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Part 1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2011 (2)
    • ►  November (2)

Free Blogger Templates Created by ThemeXpose