CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Part 2)
“Yap, dan dia seperti ‘welcome’ atas kerjasama
ini. Gue ngerasa berterima kasih atas idenya.” Tit. Wahyu
menyudahi percakapan via handphonenya.
“Kenapa wawancaranya hari ini, kan gue belum ada persiapan apa-apa Yu.” Mita menggeser kursi café melirik Wahyu yang sedang memilih daftar menu.
“Sebenarnya besok gue harus mengumumkan pemenang artikel jadi bisanya sekarang. Tenang wawancaranya nggak susah kok. Mit, gue pesanin coco lemon rice fried ya?” Wahyu tersenyum lalu waiter berpakaian coklat datang.
“Berapa mas?”
“Dua. Minumnya juga dua bubble mint tea.”
Mita mengernyit takut makanan dan minuman yang dipesan Wahyu tadi beracun dari namanya saja terdengar aneh. Dia merengangkan tubuhnya sebentar memerhatikan sekeliling cafe, di setiap sudut terpajang berbagai macam bunga segar sedangkan di depannya ada panggung beserta pemain musiknya. Alunan suara merdu dari biola membuat suasana kian romantis. Seperti dinner bersama pangeran berkuda.
“Mit… buruan dimakan kok melamun.”
“Eh, I, iya.” Mita kikuk ternyata dua menit yang lalu makanan sudah datang.
“Habis dari sini kita wawancara. Gimana enak nggak pesanannya?”
“Enak. Tunggu bentar Yu gue mau ke toilet.”
Setelah di dalam toilet, Mita mendesah kesakitan penyakit asam lambungnya kembali kambuh terkadang tangan kanan dan kirinya bergantian memegangi perut. Inilah yang membuat Mita izin seminggu latihan basket.
Dua puluh menit berlalu makanan di meja tak sedikitpun di sentuh Wahyu ia tidak bernapsu kalau hanya makan sendiri tapi sudah tiga gelas menghabiskan bubble mint teanya. Mata Wahyu mencari dimana Mita berada cowok itu khawatir sampai sekarang dia belum balik juga. Wahyu memanggil nama Mita dari depan toilet wanita. Tak lama kemudian pintu ruangan toilet terbuka. Kontan Wahyu kaget melihat kondisi Mita yang terlihat nyaris pingsan.
“Mita?! Kenapa lo? Maaf gue nggak tau kalau lo sedang sakit.”
“Hah? Aduh, nggak tau nih ke... napa bisa dadakan begini Yu...” ujar Mita lemas.
Kontan Wahyu menghampiri Mita kemudian mengendongnya ke mobil. “Udah, diem lo.” Wahyu berucap Mita hanya bisa pasrah saat tubuhnya digendong padahal tadi ia ingin protes. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Mita tidak ada percakapan yang terjadi di keduanya sehingga terdengar sangat jelas suara lagu if you belive yang dipopulerkan oleh Mandy Moore dari radio mobil Wahyu. Kondisi Mita kini lumayan baik walaupun wajahnya masih pucat. Seketika Wahyu merasa ada yang kembali pada dirinya setelah melirik Mita yang tertidur di samping kursi kemudi. Ketenangan.
“Kenapa wawancaranya hari ini, kan gue belum ada persiapan apa-apa Yu.” Mita menggeser kursi café melirik Wahyu yang sedang memilih daftar menu.
“Sebenarnya besok gue harus mengumumkan pemenang artikel jadi bisanya sekarang. Tenang wawancaranya nggak susah kok. Mit, gue pesanin coco lemon rice fried ya?” Wahyu tersenyum lalu waiter berpakaian coklat datang.
“Berapa mas?”
“Dua. Minumnya juga dua bubble mint tea.”
Mita mengernyit takut makanan dan minuman yang dipesan Wahyu tadi beracun dari namanya saja terdengar aneh. Dia merengangkan tubuhnya sebentar memerhatikan sekeliling cafe, di setiap sudut terpajang berbagai macam bunga segar sedangkan di depannya ada panggung beserta pemain musiknya. Alunan suara merdu dari biola membuat suasana kian romantis. Seperti dinner bersama pangeran berkuda.
“Mit… buruan dimakan kok melamun.”
“Eh, I, iya.” Mita kikuk ternyata dua menit yang lalu makanan sudah datang.
“Habis dari sini kita wawancara. Gimana enak nggak pesanannya?”
“Enak. Tunggu bentar Yu gue mau ke toilet.”
Setelah di dalam toilet, Mita mendesah kesakitan penyakit asam lambungnya kembali kambuh terkadang tangan kanan dan kirinya bergantian memegangi perut. Inilah yang membuat Mita izin seminggu latihan basket.
Dua puluh menit berlalu makanan di meja tak sedikitpun di sentuh Wahyu ia tidak bernapsu kalau hanya makan sendiri tapi sudah tiga gelas menghabiskan bubble mint teanya. Mata Wahyu mencari dimana Mita berada cowok itu khawatir sampai sekarang dia belum balik juga. Wahyu memanggil nama Mita dari depan toilet wanita. Tak lama kemudian pintu ruangan toilet terbuka. Kontan Wahyu kaget melihat kondisi Mita yang terlihat nyaris pingsan.
“Mita?! Kenapa lo? Maaf gue nggak tau kalau lo sedang sakit.”
“Hah? Aduh, nggak tau nih ke... napa bisa dadakan begini Yu...” ujar Mita lemas.
Kontan Wahyu menghampiri Mita kemudian mengendongnya ke mobil. “Udah, diem lo.” Wahyu berucap Mita hanya bisa pasrah saat tubuhnya digendong padahal tadi ia ingin protes. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Mita tidak ada percakapan yang terjadi di keduanya sehingga terdengar sangat jelas suara lagu if you belive yang dipopulerkan oleh Mandy Moore dari radio mobil Wahyu. Kondisi Mita kini lumayan baik walaupun wajahnya masih pucat. Seketika Wahyu merasa ada yang kembali pada dirinya setelah melirik Mita yang tertidur di samping kursi kemudi. Ketenangan.
***
Sejak pukul 06.50
banyak murid-murid yang sudah penasaran sekaligus antusias mengerumuni mading
untuk membaca pemenang lomba dan artikel terbaru maklum SMA ini unggulan di bidang
sastra dan olahraganya apalagi setiap satu bulan sekali ada majalah sekolah. Lia
terus menekuk muka hatinya gusar sama sekali tidak minat dengan artikel itu
padahal ia menang. Entah mengapa intuisinya keras mengatakan sekarang dia
adalah sahabat egois. Alasan pertama Lia memaksa Mita kembali seperti dulu,
kemudian menyuruh Wahyu mempercepat wawancaranya saat itu Mita sedang pemulihan
dari sakit dan sekarang ia berkelahi dengannya. Semalam Lia menelpon Mita
memaksa supaya besok tetap sekolah karna ada artikelnya terbit lalu Mita
menolak tapi ia malah menghardik sahabatnya yang bukan-bukan menyangka bahwa
Mita sakit bohongan.
Begitu Lia melintasi lapangan basket tiba-tiba Wahyu mengadangnya tangan kirinya membawa berkas-berkas map. Membuat Lia menghentikan langkah.
“Nah, kebetulan Lia, jadi nih berkasnya yang mau di ketik ulang. Selamat juga lo menang artikel.” Ucapnya sambil mencari-cari seseorang.
“Makasih. Cari apa?”
Wahyu tersenyum mengusap keningnya yang tidak gatal. “Hehe... Mita mana?”
“Masih sakit ya. Gue mau kasih ini sama dia, titip salam ya.” Lia mengangguk ragu sesaat mengambil bola kristal hati dari tangan Wahyu. “Oke.”
Begitu Lia melintasi lapangan basket tiba-tiba Wahyu mengadangnya tangan kirinya membawa berkas-berkas map. Membuat Lia menghentikan langkah.
“Nah, kebetulan Lia, jadi nih berkasnya yang mau di ketik ulang. Selamat juga lo menang artikel.” Ucapnya sambil mencari-cari seseorang.
“Makasih. Cari apa?”
Wahyu tersenyum mengusap keningnya yang tidak gatal. “Hehe... Mita mana?”
“Masih sakit ya. Gue mau kasih ini sama dia, titip salam ya.” Lia mengangguk ragu sesaat mengambil bola kristal hati dari tangan Wahyu. “Oke.”
Pelajaran
terakhir sudah sepuluh menit yang lalu. Jadi, jarang ada yang pulang duluan
terkecuali para brandal-brandalan sekolah. Untuk murid gossipers langsung beria melanjutkan aksinya di kantin. Sedangkan
buat murid teladan masih berkutat dengan aktifitas ekskul ataupun sekedar
membaca di perpustakaan. Sebelum pulang Lia masih ngedumel sendiri mengenai
kesulitan fisika tadi biasanya Mita lah pahlawannya.
Bus menepi di pinggir halte Lia bergegas masuk untungnya ia duduk supaya bisa mengangkat handphonenya yang dari tadi berdering.
“Hallo? Iya mbak. Alhamdulillah... Kapan saya harus berangkat? Oh, Makasih.” Kini Lia lupa dengan tingkah ngedumelnya beralih berganti kegembiraan di wajahnya.
Bus menepi di pinggir halte Lia bergegas masuk untungnya ia duduk supaya bisa mengangkat handphonenya yang dari tadi berdering.
“Hallo? Iya mbak. Alhamdulillah... Kapan saya harus berangkat? Oh, Makasih.” Kini Lia lupa dengan tingkah ngedumelnya beralih berganti kegembiraan di wajahnya.
bersambung... Part 3
0 comments