CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Part 3)

by - 25.1.13

Sebelumnya di Part 2


“Mita lebih baik istirahat, nak. Mama takut kamu lupa seperti kemarin.”
     Sweater biru gelap dirapatkan sampai ujung jari. “Dih mama, Mita sudah lebih baik lagian bosan memandangi kasur plus perlengkapannya itu.” Mita mencibir mendribel bola basketnya ke lantai. “Tapi jangan kelamaan ya!” Kontan Mita langsung mengecup pipi sang mama berjalan menuju pintu pagar.
     Mita duduk bersender di kursi panjang yang terdapat di lapangan komplek. Satu per satu orang berlalu-lalang dan Mita kembali hendak melempar bola ke ring tetapi pikirannya teringat Lia. Apakah dia masih marah? Bukannya kalau marah dia paling lama lima jam tapi... sekarang kok seharian. Mita membuang bola basket asal betapa bodohnya ia baru sadar kalau sifatnya akhir-akhir ini tidak perduli. Terdengar suara mengagetkan, Mita mengenali suara ini. “Aku capek Mit, sepertinya aku bukan sahabat terbaik kamu. Maaf kita harusnya jalani sendiri dulu bila itu sudah lebih baik barulah persahabat akan datang lagi.”
    “Lia, bukan kok lo...” Mita bersuara mengejar Lia yang kian menjauh badannya masih terlalu lemah untuk berlari, ia ternunduk di aspal. “Aduh, kenapa serumit ini?”
  Sebuah balon warna-warni masih utuh tanpa udara oksigen diulurkan di depan Mita. Mita mengambilnya ragu.
     “Wahyu?”
     “Punya nyali juga buat tiup balon nona.” Wahyu menggerlingkan matanya.
     “Eits, sok keren. Emang gue naksir gitu sama mata belong lo.”
     “ngeremeh! Asal lo tau mata gue lebih jelek dari mata semut hahahaha.”
     Mita tertawa sambil memukul pelan pundak Wahyu. Sebuah lelucon konyol dari sang lelaki. Saking asyiknya bersenda gurau, mereka berdua  tidak menyadari balon-balon itu sudah selesai ditiup.
      Happy together with her, i wish always tulis Wahyu di satu balon dan menunjukkannya pada Mita. Gadis itu hanya mengangkat sebelah alis tanda tak mengerti.
     “Nih spidolnya. Tulis apa yang ada dipikiran lo terserah apapun mau mimpi, kemarahan, sedih atau berkesan lalu lepaskan dan terbangkan balonnya.”
     Mita berpikir keras hal apa yang pertama ia tulis di balon ini dengan berat hati akhirnya... i know this wrong but the moment want remember , Friendship is over , i’m sorry... awalnya memang Wahyu menduga Mita akan menuliskannya di tiga balon saja tetapi gadis ini terlalu rapuh semakin banyak balon-balon yang sudah ia tulis dan semakin banyak pula kumpulan balon warna-warni beterbangan di udara.
     “Mita!” Wahyu tidak tahan lagi dan segera mengambil spidol dari tangan Mita. Namun entah sejak kapan, butiran bening gadis itu tertangkap oleh pantulan cahaya senja. Belum sempat menyikut air matanya, Wahyu memeluknya erat hingga bisa mendengar jelas degup jantung di antara keduanya membiarkan ia larut dalam perasaan.
     “Begitulah kehidupan terkadang ada kalanya kita harus membaginya menanggung sendiri tidak akan merubah keadaan malah semakin membuat perasaan sakit. Makanya, dengan cara ini gue bisa lebih baik berbagi pada udara.”
     “Yu, kenapa dia malah menjauh...?” suara Mita masih sengau karena menangis. Mengalih pernyataan Wahyu tadi.
     Semuanya terlihat membeku. Lapangan yang tadinya ramai oleh orang yang berlalu-lalang sudah sepi langit pun berwarna orange kekuningan udara makin dingin. Tin, tin, tin!!! Mama membunyikan klakson mobil dengan kencang. Mita berlari kecil sambil membawa bola basket. “Thanks, gue akan menyuruh superman pensiun dini mengantikan lo hahaha.”  Seru Mita menepuk pelan pundak Wahyu–lagi- Wahyu tersenyum.
     Hingga akhirnya mama menjalankan mobil berbelok ke kanan memasuki perumahan. Sepeninggalan Mita, yang dilakukan Wahyu sekarang malah bergumam. Berarti, benar lo emang mulai mengingatkan... selalu seperti dulu tanpa gue minta... tiap kali ada saja kejutan buat gue... tapi saat lo berkata ‘kenapa’... gue bersalah, Mit, ujarnya dalam hati.
 

Kali ini Mita benar dijadiin objek penjahilan mamanya semejak penjemputan mendadak mama di lapangan, tak habis-habisnya memaksa membahas si pangeran Wahyu sesekali mencolek dagu anaknya.
     Di lantai dua kamarnya, Mita memperhatikan rumah Lia yang sudah gelap hanya ada penerangan lampu teras mungkin sudah tidur. Mita menangis sekencang-kencangnya di balik selimut hancur sudah impiannya menjadi sahabat terbaik selamanya buat Lia. Dan yang paling membuatnya sedih adalah menjalani kehidupan sendiri-sendiri... ia tak ingin memiliki Wahyu lagi! Lia lebih penting. Air matanya mengalir semakin deras membiarkan membasahi kasur sampai ia tertidur, berdoa agar semua hanyut pergi supaya besok akan lebih baik lagi.

And i said
My confidence gets stronger when you’re next to me
But we wave respect goodbye
In quest for what we long to be
(Everlasting Friend – Blue October)

***

“Kamu kalau sudah sampe hubungin mami ya!”
     Lia terduduk di tengah barang-barang yang berserakan. Sebentar lagi aku ninggalin semua ini... ninggalin yang belum selesai! Hanya sekarang saatnya aku bisa melupakannya, jauh dari semua yang terjadi! Lia berdiri dan menatap sedih rumah Mita seolah-olah Mita berdiri di sana.

    
Papi datang membawa koper besar. “Yuk. Cepetan kamu ke mobil nanti ketinggalan pesawatnya. Sudah pamitan sama Mita kan?”
     “Umm, su, sudah. Lia pergi dulu,” pamit Lia sambil mencium pipi Mami.
     Mobil mulai melaju. Mami melambai-lambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal, tapi Lia tak mau menoleh ke belakang. Enggan dan takut. Karena perkataan berbohong dia terhadap orang-tuanya maupun semua masalahnya...

Setibanya di bandara ternyata pesawat Lia berangkat setengah jam lagi. Begitu berdiri di ruang tunggu penumpang Lia langsung membuka buku catatan bercoverkan ‘Friendship of Colour’ yang sudah lima hari tidak di bacanya kembali. Papi merangkul putrinya.
     “Gelagat kamu itu sudah terbaca, serumitnya masalah yang sedang kalian hadapin tidak bisa menghancurkan persahabatan itu. Udah, hanya butuh waktu saja. Kamu hati-hati ya? Papi mau ke kantor.” Papi berpesan.
     Lia mengangguk meng’iya’kan. Kini Lia mematung sendiri di antara ramainya penumpang-penumpang yang hendak berangkat. Berpikir bahwa dia telah menjadi orang pecundang.




bersambung...Part 4

You May Also Like

0 comments