CERPEN: Suara Mimpi

by - 14.1.13

                 Lampu kamar kubiarkan menyala, walau jam sudah menunjukan pukul 23.15 WIB tapi aku masih asyik membenamkan pikiranku pada benda miniatur komedi putar. Entah mengapa akhir-akhir ini hobiku sering melamun. Aku memandang pantulan wajah sayu di cermin, wajah keceriaan berganti menjadi wajah yang memikul permasalahan. Semuanya hilang tidak bersisa. Kini aku menyadari udara dingin sudah menyergap tubuhku ternyata sejak tadi hujan telah turun. Gemuruh petir mengagetkanku, aku bersembunyi di balik selimut sangat takut.
                 Saat malam semakin larut, hujan juga semakin deras dan aku menjerit kesetanan membanting  benda di sekitar. Hingga terdengar satu suara ketukan yang sangat keras. Seseorang dengan mata masih setengah tertutup berjalan mendekatiku.
                Aku memeluknya.
                “Kenapa belum tidur? Enggak apa-apa, semua akan baik saja, Mita.”
                Tanganku gemetar menangis di pundak tegapnya.

                “Gue takut suara itu.”
                “Jangan takut lagi karna masih ada gue disini.”
                “Wahyu, kau jangan pergi...”
                Wahyu terdiam dan memalingkan wajahnya menatap ke arah pintu.
                 Ketika menyadari perkataanku barusan aku memberi jeda waktu supaya ia bisa mengatakan sesuatu hal juga.
“Kau jahat!”
                Wahyu masih tetap terdiam dalam pikiran. Aku berhenti menatapnya mendorong paksa tubuhnya untuk keluar dari kamarku. Lampu padam. Aku siap tertidur dengan pipi yang masih basah karena air mata dan pikiran yang kian kusut tanpa ujung.


***

                 Senyuman cowok itu memudar pandangan seketika-tapi sejurus kemudian ia duduk di kursi panjang taman lebih tepatnya duduk di sebelahku bersama anak perempuan. Kuberanikan diri untuk mengeser dudukku sengaja supaya tak terlalu dekat aku hanya ingin sendiri. Ia memasang wajah bingung menatap ke arahku. Diam-diam aku juga menatap matanya dalam- dalam tak kutemukan cahaya di mata itu, kekosongan yang di dapat. Apa yang bisa kuharapkan dari sosok cowok yang baru aku jumpai?
                “Ada apa ya?” protesnya.
                “Sorry
                “Bukan, maksud aku, kenapa kamu menatap begitu seperti menyimpan kesedihan.”
                Aku menghela napas, “Kamu orang baru jangan sok tau.”
                Dia berbalik badan menatap anak perempuan di sebelahnya dengan tatapan nanar. “Aku tau itu. Tak ada yang bisa paham tentang masalah hidup bahkan pada anak empat tahun.”
                “Ini adikku usianya beda 18 tahun dariku, saat lahir ia sudah tidak mempunyai orang tua. Kami bisa bertahan hanya karna mimpi saja. Aku berjanji untuk terus membuatnya bahagia dengan cara apapun asalkan dia tetap merasakan bahagia.”
                “Lebih baik mengejar kebahagian daripada harus mencari yang hilang dan tak akan pernah kembali lagi, bagian mana dalam dirimu yang kamu cintai? Maka bahagiakanlah dia.”
                Hening.
                Tatapan mataku mengeluarkan bulir air mata, terasa sesak di dada.
                “Aku ini egois! Egois!”

                “Menataplah ke depan, coba kau lihat itu!” serunya, ia menarikku hingga ke danau lalu mengendong adik perempuannya. Terlihat sekumpulan burung-burung kecil bertengger di dahan pohon dan pelangi terekam di balik tenangnya air danau.
                “Simpan air matanya. Aku harap sekarang kamu mau cerita padaku.”



bersambung... suara mimpi (end)

You May Also Like

0 comments