CERPEN: Suara Mimpi (End)

by - 17.2.13

Sebelumnya di... Suara Mimpi


“Sebenarnya aku juga seperti adikmu orang tua ku meninggal setengah tahun lalu. Setengah tahun itupun aku hidup di jiwa suram selalu menyendiri, sampai kakakku yang selisih 8 bulan lebih tua dariku tidak ku perdulikan padahal berkatnya aku bisa hidup.”
            Aku berpikir sebentar, “Kenangan manis telah berantakan aku malah mencoba ingin mengulangi lagi yang kadang buatku sakit dan takut tak peduli bagaimana. Setelah aku menyadari tentang kisahmu itu, ternyata aku masih beruntung aku sangat malu.”
            Kami saling menatap, diam dalam kesunyian.


Langit cerah  terlihat sangat mendukung buat anak-anak untuk bermain. Berulang-kali cowok ini membujuk adiknya pulang. Raut wajahku menjadi sedih jika harus berpisah sama mereka, aku mulai merasa nyaman.
            “Biarkan saja kalau dia masih mau main.” Ucapku seraya tersenyum.
            Ia balik tersenyum.
            “Hey kakak cantik! Namaku Lula dan kakakku ganteng namanya Ikmal, kakak siapa?” Cowok bernama Ikmal itu berbicara
tiba-tiba dengan suara di buat cadel seperti anak kecil. Aku tertawa untuk pertamanya setelah 6 bulan yang lalu. Humoris pikirku.
            “Hey juga Lula manis. Nama kakak Mita. Mau es
krim?”
            “Mau kak! Mau! Mau!”
            yuk Lula, kamu mau es krim vanilla, stroberi atau coklat.”
            “Stroberi kak.”  Kata Lula yang masih kesusahan menyebut huruf ‘r’
            Lucu sekali! Seruku dalam hati. Aku sedikit berjongkok memeluk tubuh munggil Lula lalu, mencubit pipinya dengan gemas. Apakah ini namanya kebahagiaan hanya mendengar suara-suara mimpi yang selalu ada? Aku menyesal telah melupakannya. Oh, Tuhan, maafkan hambamu.


***


“Wahyu…” panggilku pelan.
            Deg. Rasanya kaku membuka suara. Aku berusaha mengatur perasaanku yang mulai tak stabil. Namun Wahyu malah menyuruhku untuk ikut duduk di sofa disampingnya.
            “Gue nggak akan pergi, sesuai permintaanmu. Tiket pesawatnya dibatalin.”
            Satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga. “Maaf.”
            Wahyu menyapu wajahku, matanya memiliki arti sendiri. Ia bangkit berdiri berjalan mendekati balkon dan mengeluarkan kembang api. Aku bertanya-tanya, ada apa? Kami kemudian melewati balkon tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa tanaman hias di samping balkon sengaja papa buatkan di lantai
dua agar bisa berhadapan langsung dengan kamar mama yang sekarang menjadi kamarku. Banyak kenangan disana.
            Aku menatap lekat kedua mata Wahyu setelah ia memberikan satu batang kembang api yang telah nyala. Sedangkan sejak tadi tangan kirinya sudah mengenggam erat jemariku.
            “Bulan desember tahun lalu kita berempat berkumpul disini.”
            Aku masih menatapnya juga masih diam, dan mendengarkan.
            “Lalu papa menyuruh kita berdua buat mengucapkan mimpi-mimpi.”
            Mimpi? Bodoh, aku baru mengerti. Kembang api inilah yang menjadi saksi kami untuk mengucapkan mimpi. Makanya, aku dan Wahyu antusias sekali memamerkan mimpi kami kepada papa-mama.
            “Ingat janji kita, tepat sekarang di bulan desember
, kita akan mengatakan mimpi lagi.” Belum sempat aku ingin berkata, Wahyu memejamkan mata, mulutnya berucap dalam hati. Ia melirikku.
            “Ayo Mit, kau juga mengucapkan mimpi. Papa-mama akan bahagia mendengarnya.”
           
Baiklah... Aku melakukan hal sama seperti Wahyu.
            Langit malam semakin gelap ada banyak bintang-bintang yang memancarkan cahaya.
Menit berikutnya, aku dan Wahyu sudah bersenderan di balkon. Terdengar suara merdu. Yah! Wahyu bernyanyi berusaha untuk menghangatkan suasana.
            Itulah kali pertama aku menyadari
ia benar-benar kakak yang baik.
            Aku tersenyum lebar. Sangat bahagia.




-selesai-

You May Also Like

0 comments