CERPEN: Kotak Surat

by - 30.12.13

Semburat cahaya pagi menerpa wajah walau sekarang memasuki musim dingin tapi salju belum turun mungkin pertengahan bulan. Aku terharu mengamati setiap sudut kedai ini. Pikiranku menerawang ke beberapa bulan silam saat aku tidak punya apa-apa dan harus tinggal sendirian di kota besar tanpa tempat tinggal. Namun ada seseorang yang berbaik hati mempercayaiku menjadi owner kedai miliknya. Yah, inilah kedai kopi yang berada di belakang ruko penduduk. Terpencil memang banyak orang yang bingung mencarinya. Tapi lihatlah sekarang, masih pukul delapan pagi saja meja sudah hampir dipenuhi pengunjung. Resep kopi terbaru di musim dingin selesai kubuat. 

Aku mendapati dua kiriman surat sekaligus di atas meja kerjaku. Sama seperti hari-hari kemarin tanpa nama si pengirim, tidak ada tulisan apapun di amplopnya.

Ini adalah surat ke-empat yang ku terima. Sebenarnya aku menganggap surat-surat ini hanyalah surat biasa. Bahkan dari surat pertama sampai sekarang pun belum kubuka, hanya ditaruh di kotak berwarna hijau saja. Akan tetapi, lama-kelamaan aku selalu mendapatkan surat itu di setiap harinya. Topik pembicaraan mengenai surat-surat ini ternyata menjadi pertanyaan besar bagi diriku tentang apa isi dan siapa pengirimnya.

Ya Tuhan! Apa maksudnya?

Mataku menyelidik, melihat sekeliling ruangan kedai yang tidak terlalu besar. Orang-orang semakin riang bercengkerama. Semuanya bergembira tidak tampak ada kecurigaan. Aku menghela napas panjang. Mana mungkin pengirim surat ini salah-satu dari pengunjung kedai. Meski aku penasaran ingin sekali membukanya, entah mengapa hatiku menolaknya.


***

Menjelang minggu ketiga, terlihat jendela telah ditutupi uap yang berasal dari hembusan angin salju sejak semalam. Aku menoleh sebentar ke arah luar. Sangat menyenangkan melihat salju yang turun perlahan, sembari merapatkan jaketku. Minggu pertama di musim dingin memang sangat terasa. Makanya jangan heran, terkadang orang-orang memakai pakaian berlapis-lapis. Soal surat? Aah, masih sama. Surat ke-enam dan aku tidak mau membukanya.

Sepanjang hari banyak hal yang telah aku renungkan. Tentang hidup dan surat itu.

Akuilah semejak kehidupanku berubah tidak lagi seperti dulu. Muncul juga surat misterius. Dunia sungguh sempurna, permasalahan datang beriringan dengan suatu kebahagiaan tanpa kita sadari. Layaknya bintang malam yang siap menunggu peradaban senja. Hadirnya memberikan makna tersendiri.

Mendadak air mataku jatuh. Menangis bahagia bahwa Tuhan sangat perhatian dengan makhlukNya.

Ragu. Gemetar tanganku meraih kotak surat. Sepertinya aku mulai tau.



Teruntuk belahan jiwa. Salam rindu dan maaf...
Perjalanan yang mengajarkan tentang perubahan. Awalnya aku sama sekali gak ingin membuka suratmu, ntah sudah ada berapa pertanyaan yang hinggap dipikiranku. Semejak saat itu pula aku tersadar dari perjalanan yang berbelok. Setelah aku renungkan, lambat waktu aku baru mengerti apa maksud suratmu ini. Maaf atas sikap yang dingin.
Selama tiga bulan aku di kota besar, tidak ada apapun yang aku pikirkan selain pekerjaan kecuali aku sangat amat merindukan kalian. Mungkin aku yang bersalah meninggalkan kalian tanpa seorang ibu bagi anak-anaknya. Hanya karna kekecewaan dan rasa malu. Ternyata Tuhan menyayangiku, kalau bukan oleh seseorang yang berbaik hati itu mungkin aku sekarang sudah menjadi gelandangan. Kamu tau? Itu berarti kesalahanku bertambah. Tapi gak, Tuhan masih memberi kesempatan lagi untuk memperbaiki ini semua. Melalui surat-suratmu. Dengan surat itu juga aku masih mengingat awal pertemuan kita. Tentang bertukar cerita saling mengirimkan surat di tiap minggunya.
Bukan perkara mudah bagi kita memutuskan tali pernikahan. Aku masih sangat mencintaimu kamu pun demikian. Disini saja aku masih memandang kotak hijau itu menunggu kalau-kalau di dalamnya terdapat salah-satu suratmu. Menyadari terdapat surat tanpa pengirim di amplopnya, aku sadar mungkin itu surat darimu. Kamu pernah bilang, “tanpa alasan, cinta memiliki ciri khasnya walau terkadang menjauh, menghilang dan bersembunyi tapi cinta sejati tetap bersama di tempat semestinya yaitu hati.”
Dan ciri khas cinta sejatiku gak pernah salah. Surat itu benar darimu. Aku gak tau harus bagaimana sekarang, sepertinya aku lebih senang bersama kalian lagi disana. Biarlah aku menanggu risiko apa yang aku perbuat nantinya asalkan aku tetap bersama kalian seperti dulu, mencintai kalian, dan gak akan meninggalkan kalian.
Kamu tetap sama bahkan saat aku bersalah juga kamu selalu mengigatkanku akan guratan sisa-sisa penyesalan. Menutupnya dengan goresan indah. Mari ajarkan aku untuk memperbaikinya. Terima kasih yang terbaik. Hanya kata maaf terdalam, aku masih sayang. Secepatnya semoga kita bisa menjalin bersama lagi, untuk memaknai setiap pertumbuhan langkah malaikat-malaikat kecil kita. See ya!!
Istrimu, Vanya


***

“Hai!”  terdengar suara berat memecah kesunyian. Pria itu tersenyum.

Aku melepaskan kacamataku, menoleh berbalik ke arah sumber suara.

“Vanya, aku juga masih sangat mencintaimu. Jangan pergi lagi. Kami merindukanmu rumah sepi tanpa seorang ibu dan ka__”

“Ergh, a,.. aku, minta maaf atas semuanya, maafin mama juga ya sayang.” Aku memotong ucapannya, menunduk lemah. Merangkul dua malaikat kecil ini. Mereka semakin bergelayutan manja. Sepertinya sangat rindu.

“Eh, bagaimana kau tahu aku disini?”

Ia sedikit bingung menatapku. Aku berdehem pelan.

“Ciri khas cinta sejatiku gak pernah salah, selalu menunggu di depan kotak surat, yah seperti sekarang ini.” Dia memeluk sembari mengelus lembut kepalaku, tertawa lepas. Aku balas mengulum senyum dibalik bahunya. Musim dingin yang berkesan.

Sungguh kebahagiaan abadi!

You May Also Like

0 comments