CERBUNG: Kembali (Part 3)

by - 16.7.15

Sebelumnya di part 2


Carlos mendesah panjang dan melirik jalanan. Meski jalanan tidak dipadatkan oleh kemacetan, halte masih saja dipenuhi orang-orang yang sedang menunggu kendaraan umum. 
            Jarum jam semakin cepat berjalan. Menjelang  sepuluh menit sebelum tampil di Fashion Week acara tahunan Jakarta yang sudah disiapkan sebulan lalu yang akan ditampilkannya, Carlos masih sibuk berdiam bersama buku bacaan duduk diantara orang-orang di halte. Ia berencana ingin pulang lagi naik bus menuju stasiun kereta ke Bogor.
            Ekspresinya berubah ketika ia melihat perempuan turun dari mobil bergaya sporty langsung menghampirinya. 
            “Carlos, kamu masih disini?”
            Mendengar perempuan itu menyebut “kamu”  Carlos bangkit berdiri meninggalkan halte tetapi pergelangan tangannya ditahan paksa.
            “Lupakan saja yang kemarin gue tau, makanya gue berhak mendapatkannya.”
            Carlos membuang muka ada rasa bersalah dari tatapannya.
            “Nggak apa-apa ini buat kita lebih baik.”
            “Sica...” Panggilnya lirih terlihat sudah lebih rileks.
            You’re fine?
            I’m fine if you're always there without only be hero and friend but together for this soul.. Ca, love you.
            Sica tersenyum sedih.
            Sejenak Carlos mengelus lembut punggung tangan Sica yang masih ditahannya tadi dan perlahan melepaskannya.
            “Gue lagi nggak minat jadi peraga baju-baju mahal itu dan polesan muka aneh,” ujar Carlos pelan. Suaranya terdengar frustasi. “Ca, buruan balik sana mereka butuh penulis untuk scrift peraga.”
            “Gue juga lagi nggak minat nulis.” Sica menggerlingkan matanya.
            “Kita akan baik setelah ini, ntah akhirnya sampai kapan biarlah waktu yang terbaik. Gue pamit duluan ya.” Lanjutnya sembari membuka pintu mobil.
            Carlos mengangguk ragu.



***


Ini tentang perasaan. Terlalu lama untuk mengakhiri sebuah keputusan kesimpulannya, hanya sekarang. Alunan jemari Monza sedang menekan tuts-tuts piano. Sebagai pianis dia sering di undang buat mengisi suatu acara. Malam ini Monza datang bersama Edvin, kekasihnya yang sudah empat tahun. Di alunan terakhir tuts piano Monza menoleh memandang Edvin yang di sambut senyuman. Selama sesaat raut wajahnya sedih tapi dia harus mengatakan segera. Ia bangkit berjalan mengambil microphone. Monza menahan napasnya sejenak.
            “Mimpi berawal dari patah hati.” Monza memulai dengan senyuman. Lalu ia berkata, “Cinta itu memang teka-teki. Kita bisa mengenal tetapi tidak bisa menjalaninya.”
            Kata-kata yang diucapkan dengan pelan dan serius itu membuat semua orang di aula menatapnya dalam diam.
            “Perasaan ini muncul saat aku mempunyai cinta sejati yang sudah membuatku nyaman. Ternyata cinta bukan saja tentang kenyamanan melainkan perjalanan keyakinan yang tulus. Untuk memikirkannya aku bimbang antara kenyamanan dengan keyakinan berbeda. Begitulah, sangat lucu. Seperti aku memainkan tuts piano hanya merasakan dan tidak tau mengartikan,”
            “Aku benci diriku sendiri. Selama empat tahun belum bisa yakin. Maaf atas keputusan ini, maaf menyiakanmu, maaf untuk waktunya dan maaf harus meninggalkan cinta kita di saat sekarang.”
            Monza tersenyum sedih, menatap Edvin yang berdiri tertunduk. Akhirnya ia mengambil keputusan. Ia menghampiri Edvin sambil memeluknya. “Terima kasih ya,” gumamnya serak menahan tangis.
            “Kau boleh benci aku kapan saja, kalo cinta memang ada pada kita pasti akan datang lagi, bukan?” 
            Edvin mengangguk mencoba terima.
            Monza hanya bisa mengangguk juga tanpa suara.



Daniel dan Jessy Kim tertawa. Mengibaskan tangan di depan wajah Julian seolah melontarkan sesuatu kata mengejek. “Tidak, honey, tidak bisa. Hatiku perlu inspirasi dulu untuk klik dengan percintaan.” Sahut Daniel diikuti kedipan mata sipit Jessy keturunan ayahnya.
            Julian meringis geli. “Woy! Bukan gitu maksud gue.”
            “Atau masih dibayangin perasaan itu ya Lian?!”
            Julian menggeleng. Langsung teringat percakapan terakhirnya ‘sepanjang harapan’. Dia mendengus benci. Sangat benci.
            Oppa!!
            Dialek Korea Jessy membuyarkan lamunan Julian.
            “Sekarang sudah larut gue ngantuk,” kata Julian mengakhiri percakapan, lalu menatap kedua temannya, “Pulang gih. Dah, Daniel Jessy.”
            Daniel dan Jessy terlihat bingung.


bersambung...

You May Also Like

0 comments