CERPEN: Berbagai Rasa (Winter)

by - 13.1.16



Cerita pendek ini mewakili keinginan saya untuk menjelajahi negara empat musim.
Sama seperti di cerita bersambung "Setiap Cinta adalah..." pada cerita juga akan merangkum dari berbagai makna mendasar dalam melihat kehidupan dengan cinta.


Annayo melangkah memasuki kedai kopi sembari menunggu kereta ke stasiun menuju Kyoto. Ia melihat para pengunjung kian ramai dipadati oleh wisatawan menjelang akhir tahun. Kyoto salah-satu kota yang digemari ketika musim dingin.

Annayo mengerjap. “Ah, iya... aku tidak berniat memesan kopi.” Mata hitamnya terbelalak lebar menatap taburan caramel latte diatas secangkir kopi.

Selama tiga bulan terakhir ia banyak belajar dari secangkir kopi, bukan karena kopi minuman yang lagi trend ataupun memiliki cerita yang bisa dijadikan ungkapan. Bagi Annayo kopi ialah bagian dari rasa pelengkap. Rasa yang membuatnya mengenal arti awal kehidupan. Ia hanya tau kehidupan tentang kesakitan maka dengan meminum kopi bisa berbagi perasaan yang dialami. Dua puluh tahun Annayo menjadikan dirinya tertutup akan orang lain. Baginya orang lain membuat dirinya dalam bahaya tetapi satu orang mematahkan presepsinya.

Oh, aku sudah gila, pikir Annayo sambil mengaduk pelan kopinya yang mulai dingin. Ia bingung sama pikirannya sendiri. Apakah ia akan mengenang masa lalu sebagai perubahan? Sepertinya begitu.

Satu orang yang mematahkan presepsinya itu mengatakan, kehidupan tidak disamakan seperti kopi yang dikatakan kebanyakan orang tapi tidak juga penyebab dari kesakitan. Kalau memandang kopi sebagai langkah awal kehidupan mungkin barbagai definisi. Semakin diaduk endapannya menyebar dan semakin di diamkan endapannya menyatu maka kita ada dikeduanya. Mungkin untuk memahami.

Annayo memejamkan mata dan menggeleng-geleng. Sangat bijak, Mengeluarkan suara setengah mendengus, setengah terkekeh.

“Baiklah. Kopi adalah bagian dari rasa yang memahami.” Kata Annayo melirik kertas yang ia tulis tadi. Jam menunjukan pukul 05.10 pm sebelum 20 menit kereta tujuan Kyoto berangkat ia bersiap memakai overcoat hangat untuk melapisi sweaternya. Walaupun suhu kini -2⁰C salju akhir tahun belum turun lagi.

Keluar dari kedai kopi menuju ruang tunggu penumpang, Annayo mendengar gema alunan musik khas Negeri Gingseng. Mengingatkan cerita tentang apa yang dialaminya selama tinggal di Korea.

“Jelas beda ini namanya bimbbap.”

Annayo mengangkat bahu. “Yah, aku bilangnya ini sushi tapi tidak ditambah sashami saja.” Seperti kata orang-orang, menilai dari dalam barulah bisa menilai luarnya. Bagi Mr Joo bimbbap dan sushi sama seperti pernyataan tersebut. Keduanya memiliki isi yang berbeda walaupun terbuat dari nasi yang digulung. Dia sahabat barunya di Korea. Tatapan Annayo terpaku kepada Joo masih bingung dengan alasan klasik itu.

“Ketika aku mengenalmu, aku tahu kau sama sekali berbeda. Aku sangat nyaman belajar hal dimana orang-orang hanya mengenalnya dari bacaan atau cerita saja tapi aku merasakannya langsung. Bahkan kau mengajariku ‘sesekali bodoh’ pada kehidupan untuk tidak terlalu serius.”

“Jadi kau pasti tau dimana letak bedanya? Dalam pencarian atas makna hidup yang sesungguhnya, perlu sebuah perbedaan dan untuk menemukannya harus banyak mengenal dari dalam bukan hanya melihat luarnya. Ketika kau telah menemukan maka rasa itu berbeda ada kenyamanan disana.”

Alunan musik dari salah-satu band di Amerika mengantikan playlist musik K-Pop menyadarkan Annayo dari lamunan. Pintu kereta terbuka, penumpang yang menuju Kyoto segera mengantri di depan gerbong. Ia bergegas masuk ke antrian sesekali melirik jam tangannya. Pukul 05.28 pm. Terlambat beberapa menit saja pasti ia akan disuruh kondektur memesan tiket di jam lain.

Pebedaan yang akan membuat kenyamanan, Annayo mengangguk dibangku keretanya memikirkan kembali perkataan Joo.

Kereta melaju cepat meninggalkan stasiun memperlihatkan pepohonan khas musim dingin. Dari kaca jendela Annayo melihat kagum pemandangan rumah penduduk serta kebun yang dibangun di atas bukit. Perlahan ia merasakan angin menampar pipinya. Kini butiran salju akhir tahun telah turun hawa dingin semakin menguasai tubuh. Annayo memasukan ponselnya kembali di urungkannya niat untuk mengetik pesan. Terdengar suara anak kecil dibelakangnya bergumam sedih.

Eomma, appa tidak ikut? Doo Kyung mau di Seoul saja sama appa!”

Ibunya mendesah pendek. “Doo Kyung... appa masih ada kerjaan di Korea.

“Bermain bersama appa dan eomma lebih menyenangkan. Eomma, liburan kan bisa kapanpun.” Jawabnya membuat ibunya dan Annayo tersentak. Ia menoleh kebelakang tersenyum mengamati wajah anak laki-laki bernama Doo Kyung itu.


***

Butuh waktu beberapa tahun bagi Annayo memahami maksud ibunya saat ia bertanya kenapa ayahnya mau bertemu satu tahun sekali. “Ayah punya kejutan untuk mengajak bermain makanya dalam satu tahun ia akan berkunjung.” Ia ingat betul ketika merindukan ayahnya ibunya selalu memberikan sebungkus coklat. Walaupun pada akhirnya ia  mendengarkan juga kenyataan yang tidak akan bisa diubah kembali.

“Sekarang ibu dan ayah punya jalan yang berbeda kita tidak bisa kearah sama.”

“Lalu? Bu, bukannya kalian harus mengulang dari awal untuk memilih jalan lain agar sama." 

Ibunya tersenyum. “Tentu saja. Jalan itu hanya kau Annayo.”

Annayo menghembuskan nafasnya dengan perlahan, mencoba menahan kedua matanya untuk tidak menangis. Ia memiringkan kepala, berpikir agar Doo Kyung tidak sedih lagi.

“Ini coklat dari kakak, jadi lelaki yang pintar ya.”

Hening sejenak sementara Annayo mengelus pipinya dan tersenyum kepada ibu Doo Kyung. Sesaat kemudian Doo Kyung membalas dengan senyuman kecil.

Tinggal 15 menit kereta akan sampai di stasiun Kyoto. Lampu jalan raya kota Kyoto kelihatan dari kejahuan dan pinggiran trotoar sudah tertutup gundukan es. Annayo memfokuskan diri untuk menulis dua lembar lagi sesekali menyesap teh hijaunya. Aroma teh hijau selalu membuatnya tenang. Banyak pilihan menjalani segala sesuatu kadang-kadang merasa seperti perenang yang harus maju tanpa tau rintangan apa di depan. Sudah hampir dua lembar selesai ditulis ia berencana ingin mengajukan proposal tulisannya ini. Tekad untuk menerbitkan novel kembali telah lama dipikirkan. Annayo, penulis di kantor swasta terkenal Tokyo. Sebagai penulis ia telah banyak menulis artikel serta surat kabar. Sudah hampir lima tahun untuknya tidak menulis novel lagi.

Annayo terdiam selama beberapa lama.

“Kenapa cerita menyedihkan ini dimasukkan juga? oh dear...” gumamnya.

Dari lubuk hatinya ia merasa senang sekaligus terharu membaca kembali proposal yang selesai ditulis tadi. Entah mengapa, hidup yang telah dilaluinya dulu bakal rumit. Tetapi sekarang Annayo tersenyum lebar ada banyak pembelajaran yang membuat dirinya kian bertambah dewasa.

Cerita pada proposal yang akan dirangkumnya berhubungan dengan filosofi akan ketegaran. Selain sikapnya yang tertutup dulu seiring juga terbentuk sikap ingin berbagi. Ia bukannya tipe orang yang bisa menyimpan baik kesedihan. Duduk menunggu orang yang tepat memang melelahkan. Namun waktu begitu baik mengizinkannya bertemu perempuan itu.

Pada pukul 11.50 pm menjelang pergantian tahun. Annayo melirik perempuan seumurannya sedang meminum teh hijau yang baginya aroma teh itu menenangkan.

“Kamu tidak suka?” tanya si perempuan tersenyum sinis.

“Ah, tidak... bisakah kamu mau dengar ceritaku sebentar saja.” Kata-kataku tercekat rasanya ingin sekali menangis. Perempuan bersyal merah itu langsung memeluk Annayo.

“Dengan menangis akan buat kamu tidak sakit jadi ceritalah.”

“Be-benar juga, ya,” Annayo balas kikuk sambil mengendurkan pelukan.

Ia menatap kedua mata perempuan itu dalam-dalam. “Makasih.”

Sejenak tidak ada yang bersuara.

“Kamu orang pertama yang nawarin bantuan untuk mendengar cerita. Aku senang.” Jelas perempuan itu memecahkan keheningan.

“Jadi menangis saja kalau kamu tidak mampu menahannya lagi.” Katanya.

“Mau tau rahasia selain menangis? Yaitu dengan menyesap aroma teh hijau. Aku sering melakukannya dengan begitu perasaan akan jadi tenang. Sama seperti kita berada di puncak gunung merasakan dekat bersama alam. Setidaknya aroma alam bisa membuat kita menyadari ruang kesedihan tidak selamanya sendiri ada keharmonisan juga.”

Annayo mengangguk setuju terkesima pada setiap kata-kata ucapan perempuan itu. Betapa malunya ia yang mudah sekali menangis.

Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, berdiri memandang langit yang dipenuhi kembang api khas malam tahun baru. Jarum jam telah menunjukan 00.04 am. Ia bersiap berlari menuju kakaknya. Langkahnya terhenti saat Annayo menahan pergelangan tangannya.

Annayo tersenyum. “Namaku Annayo. Nama kamu?”

“Naomi. Aku duluan ya.” Balasnya dengan senyuman juga. Dengan memandang langkah kepergian Naomi, perasaan Annayo sudah tampak lebih tenang.

*

Hawa dingin makin terasa menyeruak masuk ke dalam basment parkiran ketika Annayo turun dari kereta menuju pintu keluar. Terkadang orang di kiri-kanannya berlalu-lalang dengan mempercepat langkah untuk bersiap merayakan malam pergantian tahun. Susah payah ia menarik kopernya agar tidak ditabrak. Di sini tempatnya sekarang, duduk disamping halte pemberhentian bus angin bertiup pelan. Sungguh embusan angin musim dingin yang mengigil sempurna. Satu persatu bus menuju pusat alun-alun Kyoto tiba. Malam ini di alun-alun akan diadakan pesta kembang api dan festival musik.

Menempuh rute perjalanan kereta selama 3 jam, ia lupa untuk menghubungi ibunya. Tampak ibu berusia akhir 40 sudah menunggu diseberang halte bus, yang langsung dipeluknya hangat.

“Sudah lama, bu?”

“Oh, Annayo? Hampir saja ibu membeku.” Ibunya mencibir. Dibalas Annayo dengan cengiran di wajah sebagai respons.

“Sebagai permintaan maaf ajak ibu lihat kembang api!” lanjutnya.

Annayo mengangkat alisnya. Ia agak bingung melihat sikap ibunya, menirunya saat kecil yang ingin melihat kembang api.

“Ayo!”

Dan, terkadang berbagai rasa pada masa lalu mengajarkan untuk berani keluar dari zonanya, lanjut Annayo dalam hati. Ia tersenyum menatap langit yang berwarna-warni.



Bertemu musim lainnya di Tentang Maple (Autumn)

You May Also Like

0 comments