CERBUNG: Kembali (Part 1)

by - 11.12.14

Cerita bersambung ini diambil dari kehidupan sehari-hari dalam rumitnya sebuah kepercayaan.
Gia Carlos Monza Julian memiliki kisahnya yang berbeda tanpa kaitan
hanya berbagi cerita secara bersamaan dan si Aku akan mengakhiri cerita mereka.

-o-

Sebelumnya di Prolog

            Kondektur kereta menyambut kedatangan penumpang menuju keberangkatan ke  Jakarta. Para penumpang telah memenuhi kereta menyisakan satu bagian kosong yang berada di gerbong dekat toilet. Untuk menghibur penumpang selama perjalanan pihak KA memutarkan musik.
            Sambil tetap memfokuskan diri ke layar laptop, sesekali Gia berenti hanya sekedar melihat pemandangan persawahan di sebelahnya. Ia tersenyum takjub melihat hijaunya sawah tidak menyangka di sudut kota Bogor masih terdapat persawahan. Pikirkan saja hal positifnya ini kesempatan, Gia ngelirik laptopnya, soal ini? Mungkin gue akan coba terima.
            Mata coklat yang benar-benar bulat, mata yang bisa membuat wanita mana pun yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tapi sayangnya, di balik mata coklat itu meng-isyaratkan kehampaan yang mendalam. Carlos menoleh menyapu pandangan ke hamparan sawah. Menghembuskan napas berulang-ulang pertanda keraguan. Betapa bodohnya gue.
            Dari arah gerbong menuju pintu masuk kereta terdengar bunyi handphone, disusul suara perempuan berusia duapuluh tahun yang berseru, “Aku bisa sendiri. Aku baik-baik saja disana. Tenang nanti aku kabarin secepatnya.”
            Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu.
            “Kamu yakin Mon?” tanyanya, “Kau akan tampil disana untuk memutuskannya?”
            Monza menatap ragu. “Gue ngak tau mungkin itu terbaik membuatnya sedikit sadar.”
            Julian menoleh kearah suara tiga perempuan yang bersebelahan dengan kursinya.
            Matanya bersinar penuh ketidak-sukaan. Sama, gumam Julian menggeleng-geleng. Sepertinya harus berlari saja ngak cukup sampai di sepanjang harapan...
 

***

            Panggilan dari pengeras suara bergema di ruangan kereta. 
            Sebuah pemberitahuan bahwa kereta akan tiba di stasiun. Perlahan kondektur menginstrupeksikan para penumpang untuk mengecek barang bawaan kembali sebelum akan meninggalkan kereta.
            Carlos memandang ke sekeliling orang-orang yang bergegas menuju pintu keluar, tetapi ia tetap memejamkan matanya lagi.
            “Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu merencanakannya Mon?” tanya teman Monza ketika ia berjalan keluar kereta beralih ke loket bus.
            Monza menoleh. “Hm?”
            “Pertimbangkan dulu,” kata temannya. “Aku tau walau mencintai harus ada sakitnya.”
            Kepala Julian berputar kembali menatap kearah tiga perempuan tadi. Dengan malas ia harus melihat perempuan bernama ‘Monza’ itu yang terlihat memaksakan diri balas tersenyum kepada teman-temannya. Dan sangat pembohong, pikirnya. Sangat menyebalkan.
            Monza menundukkan kepalanya dengan ragu ia sudah lelah. Sungguh.
            “Kenapa Mon?”
            Monza tidak menjawab.
            “Kamu harus yakin bisa menyelesaikannya, Oke?”
            Monza mengganguk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. “Makasih ya kalian, aku harus pergi duluan kita pisah disini.”
            Ia mengangkat wajah memeluk kedua temannya. Mereka memasuki bus masing-masing menuju ke bandara.
            “Sampai ketemu enam bulan lagi,” ujar Monza sambil menyeret koper besarnya.


Carlos, jangan ngehindarin aku terus.
Aku mau kita ngobrol berdua.


Carlos menaruh ponselnya di saku celana jins setelah membaca pesan singkat yang diterimanya. Di lengan kanannya, sebuket bunga matahari terlihat jelas. Bunga itu sebagai perbaikan hubungan, atas kesalahan yang Carlos tidak tau jelas apa.
            Sebelum dirinya berada di kereta ini, ia berniat memberikan bunga matahari tanda semangat pagi mereka tetapi itu tidak sesuai yang diinginkan. Langkahnya malah membawa dirinya menuju kereta ke Jakarta.
            Carlos bangkit berdiri memandang ruangan kereta yang telah kosong. Derap langkahnya terdengar lunglai seiring sebuket bunga matahari yang sudah tergeletak di tong sampah. Lelah.




bersambung... Part 2

You May Also Like

0 comments