Me of Colorful

Semburat cahaya pagi menerpa wajah walau sekarang memasuki musim dingin tapi salju belum turun mungkin pertengahan bulan. Aku terharu mengamati setiap sudut kedai ini. Pikiranku menerawang ke beberapa bulan silam saat aku tidak punya apa-apa dan harus tinggal sendirian di kota besar tanpa tempat tinggal. Namun ada seseorang yang berbaik hati mempercayaiku menjadi owner kedai miliknya. Yah, inilah kedai kopi yang berada di belakang ruko penduduk. Terpencil memang banyak orang yang bingung mencarinya. Tapi lihatlah sekarang, masih pukul delapan pagi saja meja sudah hampir dipenuhi pengunjung. Resep kopi terbaru di musim dingin selesai kubuat. 

Aku mendapati dua kiriman surat sekaligus di atas meja kerjaku. Sama seperti hari-hari kemarin tanpa nama si pengirim, tidak ada tulisan apapun di amplopnya.

Ini adalah surat ke-empat yang ku terima. Sebenarnya aku menganggap surat-surat ini hanyalah surat biasa. Bahkan dari surat pertama sampai sekarang pun belum kubuka, hanya ditaruh di kotak berwarna hijau saja. Akan tetapi, lama-kelamaan aku selalu mendapatkan surat itu di setiap harinya. Topik pembicaraan mengenai surat-surat ini ternyata menjadi pertanyaan besar bagi diriku tentang apa isi dan siapa pengirimnya.

Ya Tuhan! Apa maksudnya?

Mataku menyelidik, melihat sekeliling ruangan kedai yang tidak terlalu besar. Orang-orang semakin riang bercengkerama. Semuanya bergembira tidak tampak ada kecurigaan. Aku menghela napas panjang. Mana mungkin pengirim surat ini salah-satu dari pengunjung kedai. Meski aku penasaran ingin sekali membukanya, entah mengapa hatiku menolaknya.


***

Menjelang minggu ketiga, terlihat jendela telah ditutupi uap yang berasal dari hembusan angin salju sejak semalam. Aku menoleh sebentar ke arah luar. Sangat menyenangkan melihat salju yang turun perlahan, sembari merapatkan jaketku. Minggu pertama di musim dingin memang sangat terasa. Makanya jangan heran, terkadang orang-orang memakai pakaian berlapis-lapis. Soal surat? Aah, masih sama. Surat ke-enam dan aku tidak mau membukanya.

Sepanjang hari banyak hal yang telah aku renungkan. Tentang hidup dan surat itu.

Akuilah semejak kehidupanku berubah tidak lagi seperti dulu. Muncul juga surat misterius. Dunia sungguh sempurna, permasalahan datang beriringan dengan suatu kebahagiaan tanpa kita sadari. Layaknya bintang malam yang siap menunggu peradaban senja. Hadirnya memberikan makna tersendiri.

Mendadak air mataku jatuh. Menangis bahagia bahwa Tuhan sangat perhatian dengan makhlukNya.

Ragu. Gemetar tanganku meraih kotak surat. Sepertinya aku mulai tau.



Teruntuk belahan jiwa. Salam rindu dan maaf...
Perjalanan yang mengajarkan tentang perubahan. Awalnya aku sama sekali gak ingin membuka suratmu, ntah sudah ada berapa pertanyaan yang hinggap dipikiranku. Semejak saat itu pula aku tersadar dari perjalanan yang berbelok. Setelah aku renungkan, lambat waktu aku baru mengerti apa maksud suratmu ini. Maaf atas sikap yang dingin.
Selama tiga bulan aku di kota besar, tidak ada apapun yang aku pikirkan selain pekerjaan kecuali aku sangat amat merindukan kalian. Mungkin aku yang bersalah meninggalkan kalian tanpa seorang ibu bagi anak-anaknya. Hanya karna kekecewaan dan rasa malu. Ternyata Tuhan menyayangiku, kalau bukan oleh seseorang yang berbaik hati itu mungkin aku sekarang sudah menjadi gelandangan. Kamu tau? Itu berarti kesalahanku bertambah. Tapi gak, Tuhan masih memberi kesempatan lagi untuk memperbaiki ini semua. Melalui surat-suratmu. Dengan surat itu juga aku masih mengingat awal pertemuan kita. Tentang bertukar cerita saling mengirimkan surat di tiap minggunya.
Bukan perkara mudah bagi kita memutuskan tali pernikahan. Aku masih sangat mencintaimu kamu pun demikian. Disini saja aku masih memandang kotak hijau itu menunggu kalau-kalau di dalamnya terdapat salah-satu suratmu. Menyadari terdapat surat tanpa pengirim di amplopnya, aku sadar mungkin itu surat darimu. Kamu pernah bilang, “tanpa alasan, cinta memiliki ciri khasnya walau terkadang menjauh, menghilang dan bersembunyi tapi cinta sejati tetap bersama di tempat semestinya yaitu hati.”
Dan ciri khas cinta sejatiku gak pernah salah. Surat itu benar darimu. Aku gak tau harus bagaimana sekarang, sepertinya aku lebih senang bersama kalian lagi disana. Biarlah aku menanggu risiko apa yang aku perbuat nantinya asalkan aku tetap bersama kalian seperti dulu, mencintai kalian, dan gak akan meninggalkan kalian.
Kamu tetap sama bahkan saat aku bersalah juga kamu selalu mengigatkanku akan guratan sisa-sisa penyesalan. Menutupnya dengan goresan indah. Mari ajarkan aku untuk memperbaikinya. Terima kasih yang terbaik. Hanya kata maaf terdalam, aku masih sayang. Secepatnya semoga kita bisa menjalin bersama lagi, untuk memaknai setiap pertumbuhan langkah malaikat-malaikat kecil kita. See ya!!
Istrimu, Vanya


***

“Hai!”  terdengar suara berat memecah kesunyian. Pria itu tersenyum.

Aku melepaskan kacamataku, menoleh berbalik ke arah sumber suara.

“Vanya, aku juga masih sangat mencintaimu. Jangan pergi lagi. Kami merindukanmu rumah sepi tanpa seorang ibu dan ka__”

“Ergh, a,.. aku, minta maaf atas semuanya, maafin mama juga ya sayang.” Aku memotong ucapannya, menunduk lemah. Merangkul dua malaikat kecil ini. Mereka semakin bergelayutan manja. Sepertinya sangat rindu.

“Eh, bagaimana kau tahu aku disini?”

Ia sedikit bingung menatapku. Aku berdehem pelan.

“Ciri khas cinta sejatiku gak pernah salah, selalu menunggu di depan kotak surat, yah seperti sekarang ini.” Dia memeluk sembari mengelus lembut kepalaku, tertawa lepas. Aku balas mengulum senyum dibalik bahunya. Musim dingin yang berkesan.

Sungguh kebahagiaan abadi!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
         
 -Prolog-

            Pernahkah kalian berada dimana masa kepercayaan itu sudah tidak ada lagi? 
            Sesuatu yang harusnya bisa diulang kembali atau bahkan membuat seseorang menjadi dirinya yang berbeda berpura-pura dalam keadaan, merubah keramahan berganti dingin yang menguasai.
Setiap manusia akan menganggap ini berlebihan. Tapi aku malah sebaliknya.
Baiklah, aku juga tidak tau sampai kapan seperti ini mungkin besok dan besoknya lagi akan tetap sama.
Ketika aku melihat sekelilingku ada beberapa orang mengatakan tentang banyak hal mengenai mengapa dan bagaimana, tetap saja aku berdiam di situ, berdiam dalam perasaan yang terus-menerus mengkhawatirkan. Ini hanya ke khawatiran yang terkadang ada di posisi serba salah.
Tapi aku tahu aku harus belajar untuk menghargai kepercayaan. Aku tidak mungkin merubahnya selamanya. Entah nanti itu akan terdengar klise. Cuma satu harapan.
            Buatlah ini untuk lebih baik.
            Yakinkan aku dengan definisi kepercayaan itu.




bersambung... Part 1
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebelumnya... Dibawah Awan


Nindi menyeka ujung-ujung matanya setelah Tivon selesai menceritakan sosok Aurora kekasihnya. Setengah jam lalu taman ini sudah lengang. Cuma terlihat orang yang berlalu-lalang saja. Tivon memberikan buku yang ingin Nindi lihat di perpustakaan tadi.
        “Nih, kamu bisa pinjam kapanpun. Thanks udah mau mendengar obrolan suntuk gue. Hey, kamu nggak apa kan?” Tivon menatap tajam. Menyelidik.
        “A-pa?!”
        “Kok balik nanya. Ini mau sore mendingan kamu pulang ntar pacarmu nyariin.”
        “Nggak! Stop! Jangan sebut itu lagi!!”
        Pria berkulit kecoklatan ini terkejut melihat reaksi yang dilontarkan gadis di sebelahnya ia tidak bertanya lebih lanjut, terdiam dengan pikiran masing-masing. Langit sore masih berwarna biru yang sedikit ditutupi oleh awan. Seketika, seperti luka yang tiba-tiba disentil, Nindi langsung tersadar. “Cih, endingnya nggak happy. Lama banget jadi nunggunya. Untung Aurora nggak sejahat itu,” serunya menoleh ke Tivon sambil menyibakkan anak rambut yang diterpa oleh angin.
        “Begitulah... Ayo kita duduk disana saja.” Tivon tersenyum kecil membantu Nindi berdiri. Lalu, keduanya berjalan menuju kursi yang disediakan di taman.
        “Gue bingung, apa sebenarnya kamu punya kepribadian ganda?”
        Nindi terkikik. “Elo ini benar-benar bebal. Geli tau!”
        “Serius!”
        Bukannya malah menjawab Nindi sibuk membenarkan tali sepatunya, membuat Tivon kian bete. Nindi tampak menimbang-nimbang sesuatu berdiri mendekati airmancur yang terdapat di kolam kecil. “Sudahlah, gue memang begini kok. Jangan dibikin ribet gitu,”
        “Maaf ya tadi gue nggak suka soal elo tanyain pacar. Gue hanya nggak mau mengharap yang lebih dan ujungnya sesaat.”
        Tivon tersenyum memaklumi. Percayalah, hal yang menakutkan di dunia ini adalah merasa kehilangan. Kehilangan atas apa yang mereka perjuangkan juga atas dasar yang mereka sayangi. Nindi menatap kosong langit sore, langit di penuhi awan-awan yang bergerak dengan sempurna. 
       Tivon memalingkan wajahnya tak bisa berkata lagi kemudian menelan ludah. Dia merasa nyaman saat gadis ini bawel terus-terusan berbicara daripada yang berdiam dengan tatapan kosongnya.
       “Kalo kamu nggak keberatan... sekarang giliran gue yang harus dengar curhatan” Nindi mengernyitkan dahi tapi sedetik kemudian tersenyum kepada Tivon.



Cinta pertama atau apalah ini dimulai saat aku baru menyadarkan ketulusannya. Empat tahun lalu, aku tidak tau apakah aku yang meninggalkan dia atau sebaliknya. Karena kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Meninggalkan yang aku maksud bukan kekecewaan tapi rasa takut. Takut? Ya mungkin. Namanya Reno. Pemuda yang aku kenal lewat chatting dan ternyata temanku temannya juga.
       SMS tiap hari masuk di handphone ku tak pernah absen selalu saja dari Reno. Ntah itu obrolan bahkan hal tidak penting sekalipun. Hari-hari berikutnya, masih sama SMS dari dia apalagi Reno makin perhatian kadang melibatkan aku dalam aktifitas layaknya pacar. Terkadang bisa dewasa untuk  menempatkan suasana orang lain. “Jangan pernah ragu kalo belum mencoba, main drum itu dari hati nggak sulit kok, nanti Reno ajarin.” Dia berkata di seberang telpon saat aku kepengen belajar nge-drum dengan nada ragu.
       Gemetar tanganku membuka SMS darinya yang sudah lama Reno tidak mengabarkan.
       “Maaf jangan marah ya, Reno kemarin masuk rumah sakit, yuk SMS lagi.”
       Aku menghembuskan napas legah tapi sedikit khawatir. Hari berikutnya. Reno seperti memberi kode untuk menyatakan perasaannya. Dia menyukaiku. Terlalu polos aku mengartikan sampai-sampai menyuruhnya untuk jadi teman saja. Di hari yang berbeda dia antusias memikirkan rencana buat ulang tahun kami di bulan yang sama padahal itu masih lama. Benar-benar romantis. Hari berikutnya Reno menghilang. Aku memaklumi. Seminggu setelah itu aku nekad terus mencoba menghubunginya.
        Aku tertegun menerima sebuah SMS. “Ini mamanya, maaf, untuk sekarang Reno tidak boleh diganggu dalam penyembuhan sakit.” Merasa Reno adalah pria tulus dari pria yang aku temukan dalam putaran perasaan yang tidak mengerti ini semakin lama aku mencintai dia. Tapi dia lah juga yang meninggalkan berjuta pertanyaan membuatku harus melupakannya.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Cerita pendek ini fiksi. 
Sebagian di antaranya ditulis ulang dan terinspirasi
dari beberapa kisah lainnya. 

====

Perpustakaan di sudut taman kota itu sepi. Nyaris semua orang tidak tertarik untuk sekedar mampir. Hanya ada empat-lima orang saja yang berkutat dengan bacaannya. Padahal di sini pengunjung bisa merasakan kesejukan yang asri. Keheningan di ruangan perpustakaan berangsur-angsur terpecah oleh celotehan seorang gadis. Gadis itu mengibaskan tangannya kasar karena belum menemukan buku yang dicari. Terus membolak-balik buku di rak dan berjalan ke rak lainnya. Masih sama. Kesal. Di saat bersamaan pria di depannya malah tidak peduli dengan keadaan di sekitar. 
        “Mas! Serius banget bacanya. Boleh gue lihat bentar nggak itu buku.” kata Nindi.
        Pria itu menoleh sesaat.
        “Boleh ya mas masalahnya gue lagi ada tugas tapi bukunya nggak ada mung__”
      “Bisa sedikit saja menjauh dan jangan bawel!!” potong sang pria geram. Ia mendengus pendek. Mendelik sekilas pada manusia di hadapannya. Nindi nyengir. “Iya, maaf. Gih, lanjutin mas bacanya.”
        Semejak dua jam yang lalu pria bernama Tivon ini memilih duduk di bangku paling belakang dekat jendela. Tanpa sedikit pun menyadari, gadis bersepatu kets yang tidak dikenal ini langsung ikut duduk di sampingnya. Gadis bawel. Bukan salah-satu tipe dari Tivon. Nindi menatap lirih wajah Tivon. Mencari setiap celah untuk membuatnya bersahabat. Kini jarak wajah keduanya cuma tiga centimeter, begitu sampai pada binar matanya, Nindi kini tau bahwa ada sesuatu yang tulus dari Tivon. Ia kikuk.
        “Apa ada perasaan amat rindu...,” gumam Nindi dia terdiam sejenak. “sangat, sangat, sangat rindu.” Tivon tertegun tidak minat lagi dengan bacaannya.
        “Menginginkan kembali untuk bersama, elo jangan tolol.”
        Suasana hening. Tivon tampak bingung, siapa sebenarnya ini gadis? Pernyataan itu berputar di otaknya. Tivon merasa dirinya sudah tidak waras seperti mencium gelagat yang akan membuka kesedihan. Tiba-tiba, Nindi bangkit dan berjalan menghampiri pintu keluar yang sebelumnya sempat memberikan seutas senyuman.

***


        “Kenapa ketawa.” Tivon cepat memotong sebelum tawa gadis itu makin pecah.
        Nindi menggeleng kecil. “Lucu aja,” sahutnya pendek. “Lagian elo nanya aneh sih, kalo gue malaikat atau hantu mana bisa ngomong sama manusia.” Sebenarnya tadi Nindi ingin pamitan pulang tapi Tivon malah menyuruhnya untuk mengobrol di taman samping perpustakaan. Setelah berdehem beberapa kali barulah pemuda itu tersadar dari lamunan.
        “Udah pernah merasa kehilangan nggak?”
        Tepat bersamaan dengan pertanyaan Tivon tersebut Nindi merasakan dirinya lemah. Seandainya bisa menangis di depan orang yang sudah lama dikenalnya ia akan menangis detik itu juga tapi pria ini terlalu asing buatnya. Keheningan kembali menguasai mereka. Seperti pepatah ‘diam adalah emas’ memang tidak berlaku pada suasana sekarang. Lagipula harusnya Nindi bisa mencairkan suasana dan ntah mengapa pertanyaan tadi mampu buat ia sulit berkata-kata.
        “Kok diam. Memang banyak orang risih kalo dengar kalimat kehilangan.”
        “Eh? Ya, ampuuun apa gue kelihatan risih ya,” keluh Nindi sambil meraba mukanya. Tivon melongo semakin bingung dengan gadis itu. Gadis berkepribadian ganda sebentar bawel, sebentar marah, dan sebentar lagi sedih. Begitu mendekati pelantaran luas  berwarna hijau Tivon langsung menjatuhkan tubuh di rerumputan supaya bebannya terasa ringan. Nindi berdiri disamping Tivon sambil memperhatikan jam di pergelangan tangannya.
        “Ngapain disini? Gue harus pulang nih.”
        “Duduklah, gue masih ingin ngobrol denganmu.”
        Tivon menghela napas. “Rasanya... terkadang rindu buat gue menginginkan dia. Sekarang.., dia hanya bisa gue temui di doa saja. Tuhan sangat sayang dengannya, jadi bidadari di surga sana.” Tak ayal, hal itu membuat Nindi terkesiap dan ikut tiduran di rerumputan seperti yang dilakukan Tivon tadi. Gadis berambut sebahu ini merasa iba.
        Sejenak Tivon memejamkan mata, menekan rasa sakit yang juga terasa di dada. “Sampai detik ini, perasaan gue tidak pernah berubah padanya. Tidak ingin berpikir untuk mencari penganti di__”
        Nindi langsung memotong. “Jangan egois cobalah berdamai pada keadaan dulu.”
        “Mungkin iya, gue akan mencobanya perlahan,” Tivon menarik napas panjang.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Lama aku mengerjapkan mataku menatap sekeliling ruangan kamar. Seperti biasa aku selalu tertidur di antara tumpukan buku-buku tebal dan kertas yang berhamburan ntah kemana itu. Dan bila pagi menjelang aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Jadwal ku hari ini cukup padat. Dua jam lagi harus bersiap menuju ke bandara. Semejak lima tahun lalu aku yang bekerja di kedutaan negara tetangga, membuat tidak ada lagi waktu untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman seperti dulu tetapi sekarang aku telah terbiasa. Bahkan aku sudah bisa membeli rumah dan mobil mewah dari uang gajian. Ini menyenangkan. Aku buru-buru meminum coklat hangat, menyambar balazer dan higheels menuju pintu garasi.

Delapan menit berlalu mesin mobil ini tidak hidup juga, terpaksa aku berdiri di halte menunggu bus yang lewat. Uh! benar-benar menyebalkan. Debu yang menempel di kulit. Panas matahari membasahi peluh. Tatapan sinis orang-orang. Sungguh pagi hari yang sial. Gerutuku dalam hati. Bus menepi di perempatan halte seketika puluhan orang-orang berebut menaiki, kaki kiriku terjepit dan map-map berkas yang kubawa berantakan. Untungnya aku langsung kebagian tempat duduk tanpa kupedulikan wanita lansia yang berdiri di sampingku. Jam telah menunjukkan pukul 07.40 WIB masih ada waktu untuk tidur sebentar karena jarak bandara cukup jauh.

“Mbak bangun, ini sudah terminal akhir mau berhenti dimana?”

Samar-samar terdengar suara kondektur bus membangunkan ku. Puluhan orang-orang di dalam bus tadi tidak ada lagi hanya ada kursi-kursi kosong. Mampus. Aku menepuk kening beberapa kali lalu bergegas turun.

Tiba di depan sebuah warung makan kakiku tidak sanggup berjalan. Pukul 08.25 WIB pasti pesawatku sudah berangkat. Aku sungguh pasrah tidak bersemangat. Kini aku hanya memerhatikan gelagat kehidupan pinggiran jalan yang kumuh. Memori kenangan saat kecil terlintas. Dimana aku dan kakak-kakakku bermain mengejar layangan sembari menemani mama berjualan di pasar. Eh, aku kangen mama! Dengan cepat aku mencari handphone di tas tapi map-map berkas saja yang ada. Astaga aku kecopetan di bus tadi semuanya hilang.

Aku menghela napas panjang bepikir dalam hati. Apakah ini karma? Apakah terlalu egois? Apakah aku sejenis manusia tak peduli tak bermoral? Tidak akan menoleh sedikitpun pada orang-orang disana selalu mementingkan urusan pribadi? Entahlah bagaimana aku harus memulainya lagi, memulai untuk lebih baik. Mungkin kata maaf dahulu.

“Kalo ingin ‘uang lebih’ bukan disini tempatnya, nggak cocok sama itu busana.”

“Ah, biar aku usir saja dia bikin dosa!”

Ini salah besar aku menggelengkan kepala meyakini kedua ibu warung yang menghujat tadi. “Uang lebih? Maksudnya, wanita___” Okeh aku tau dengan cepat meninggalkan tempat itu sebenarnya pakaian yang ku pakai ini wajar untuk ke kantor. Pukul 11.30 WIB. Masih sama aku berada di jalanan yang tidak tau arahnya dan sedikit tetesan air hujan yang akhirnya semakin deras.

***

“Hey! Ngapain berdiri disana buruan neduh kesini. Nanti sakit lho mbak.” Lelaki berjaket cokelat disebrang berteriak dan berjalan menghampiri. Aku terkejut saat dia merentangkan jaketnya tepat di atas kepala ku.

“Nah begini lebih baik, mbak ngapain tadi hujanan?”

“Nggak apa.”

“Ya udah aku duluan ya mau ada acara bareng.”

“Bareng keluarga? Atau bareng teman?”

“Maksudnya?! Semuanya sih katanya mereka pada kangen, lagian nggak salah juga saya ngumpul bareng mereka, jenuh kalo harus terus bekerja he..he..he...”

Lelaki itu menaiki motornya bersiap ingin pamitan. Aku menahan tangannya.

“Tunggu!! Alasannya apa?”

“Alasannya, mungkin hanya mereka lah orang yang berharga di hidup saya mbak.”

JLEB. Ribuan bayangan hitam yang ku lihat rasanya sakit. Seperti cahaya yang perlahan-lahan memudar menutupi semua badan ku yang terombang-ambing oleh dosa. Haruskah aku mengakui sekarang. Baiklah akan ku lakukan.

“Mas boleh pinjam handphonenya? Saya ingin meminta maaf pada teman dan keluarga mengatakan bahwa betapa egoisnya saya ini...” 

Kata maaf berhasil ku ucapkan. Hujan berhenti digantikan matahari yang memancarkan sinarnya yang bersemangat. HELLO DUNIA, KALAU AKU MASIH EGOIS TOLONG INGATKAN YA!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

-EPILOG-

Sebelumnya di Part 5

Pagi, di hari minggu. Inilah hari terakhir mereka bertemu untuk dua minggu ke depan. Mita yang akan ikut bertanding mewakili sekolah di kejuaraan basket Internasional dan Lia memutuskan kembali pergi ke Yogya dalam pertemuan penulis muda yang sempat tertunda dulu. Tentu sehari ini menjadi hadiah manis, mengingat Lia pernah bermimpi akan menikmati hari hanya dengan Mita. Maka di mulai dengan menonton film, memasak bersama dan makan es krim di taman sambil mengobrol cerita waktu kecil sampai kepada hal-hal yang tidak begitu penting. Semuanya mengalir secara menyenangkan layaknya persahabatan yang sempurna.

Lia berdiri jauh dari bibir pantai. Dia bersemangat berlari menuju hamparan ilalang luas yang sangat indah, tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. Lia menoleh dan melihat Mita berdiri juga di belakangnya.

“Mita ini sangat indah, darimana kau tau tempatnya?” tanyanya sambil mengajak Mita memandang langit penuh siluet senja.

“Dari Wahyu.” jawab Mita singkat.

“Dia sudah masuk ke dalam permasalahan kita aku harus berterima kasih juga nih Mit,” kata Lia bergumam.

“Ini, ada titipan Wahyu untukmu aku lupa waktu itu.” lanjutnya menyodorkan bola kristal berbentuk hati. Sahabatnya tidak mengatakan apa-apa hanya tersenyum. Air mata Mita mulai menetes tapi dengan cepat juga di hapusnya.

“Oh iya, Lia... Setelah ini gue pasti jadi kangen ngejahilin, tidak ada lagi tarik-tarikan rambut huh!” ujar Mita menarik gemas rambut Lia.

“Iya, iya apalagi si Wahyu murung di ruangan OSIS. Nggak kasihan?” sindir Lia.

Masih dalam keadaan pipi memerah, Mita spontan langsung menarik kedua tangan Lia mengacak-ngacak rambut lalu mengelitiknya padahal ia benar-benar memikirkan apa yang di katakan Lia sebelum cewek itu mengatakan dulu. Namun, waktu terus berjalan. Hari telah malam mereka tidak akan pernah melupakan sehari yang terasa singat ini.

Dalam tulisan yang baru di tulisnya di halaman terakhir buku catatan bercoverkan ‘Friendship of Colour’ Lia menyimpulkan: tidak ada terlambat maka tidak ada kehilangan, tidak ada persahabatan maka tidak ada kebersamaan, tidak ada kisah cinta maka tidak ada ketulusan, begitupun pada manusia tidak ada kisah sendiri yang tidak dapat di ceritakan.




~Selesai.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Semakin ke sini, mulai bermunculan. Sementara aku sendiri sama sekali tetap sendiri di antara keramaian ini. Emosi tanpa batas kelelahan yang kian menjadi buat suasana tidak seperti dulu, iya, sekarang sudah kaku. Hanya untuk menulis satu kata saja sulit seolah aku telah benci namanya menulis. Kalau berkata saja tidak bisa meluapkan ekspresi dan menulis juga demikian lalu dengan apa aku mengekspresikannya lagi? Aku seperti manusia beraga tapi tak bernyawa. Bodoh. Selalu manja sama mood. 

Tidak peduli orang mau tertawa senang aku tetap saja diam ntah setiap sudut saraf sekalipun rasanya tak ada lagi namanya tawa. Ahh bukan. Maksudnya aku masih bisa ketawa mungkin tawanya yang berbeda.

Benar-benar di luar dugaan sama sekali bukan diriku Tuhan.. tak harus aku memposting tulisan memalukan ini harusnya aku membagi pada orang-orang, bagaimanapun mereka semua tau soal pribadiku tapi lagi-lagi aku takut dikecewain. Masalah satu belum selesai timbul masalah lain. Itu yang aku takutkan biarlah ada saatnya mereka akan mengerti. Aku tau mereka semua juga punya masalah yang sama karena pada dasarnya manusia harus punya waktu sendiri buat menyelesaikannya. “Tanah yang kosong belum tentu bisa di desain penuh pasti masih menyisahkan petak-petak kosong.” Petekan kosong itulah waktu buat kita belajar untuk menjadi lebih baik. Percayalah Tuhan tidak akan memberi kesulitan di batas titik terendah.

Walau ada jalan lurus yang mulus tanpa jurang kenapa tidak sekali-sekali melewati jalan tikungan yang terjal.Yang awalnya baik-baik saja belum tentu akhirnya akan baik. Katakan saja tulisan ini hanya untuk menghibur kekangenan mengenai opini yang kekanak-kanakan.

Biarlah 5 10 20 tahun lagi aku membaca ini dengan senyuman di wajah biar aku tau manusia ternyata perlu perbedaan dan tak semuanya sama atau sejalan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebelumnya di Part 4

“Sembilan tahun lalu ingat kan saat tersesat di puncak cowok yang ngerawat lo sampai bertemu Lia. Itu adalah gue, Wahyu. Kita sempat kenalan dan lo cerita semuanya tentang sahabatmu Lia walaupun ia sahabat manja dan cengeng. Tapi tetap saja lo nerima apa adanya, ngak mengeluh dan menyenangkan makanya gue ikut juga ngerasa. Eh, rupanya lo juga mudah sedih selalu nanyain ‘kenapa’ jadinya seperti bersalah padahal lo butuh perhatian. Hmm.. kita memang dulu masih kecil dan sampai sekarang, ntah mengapa gue berandai pengen punya pasangan sepertimu Mit. Kemudian... lo menghilang... dan gue, menunggu, ingin selalu ada di samping lo dengan cara begini.” Wahyu membeberkan panjang lebar menerawang jauh di kursi kemudi.
     “Mita, please jangan bersikap dingin pada siapapun gue ngak suka dan gue tau persahabatan kalian hancur karna gue, maaf. Tapi tak ada salahnya untuk kalian memperbaikinya.”
      Mita hanya terdiam karena tidak tahu harus bagaimana merespons kata-kata Wahyu. Terkadang ia memandang Wahyu dengan nanar. Cowok itu memang sudah begitu dekat dengannya, namun... Mita belum bisa menyuruhnya buat menyinggah di relung hati.

     Kini Jazz hitam Wahyu sampai di depan rumah, Mita mengelus pelan tangan kiri Wahyu yang sedang memegang tuas gigi mobil.
     “Makasih. Gue akan mencoba semuanya dengan baik, Yu... jangan terlalu mengkhawatirkan gue. Yang lebih bikin khawatir justru diri lo sendiri.”
     Mita membuka pintu mobil dan segera membuka pagar rumahnya. Gadis itu sudah tidak sabar mengistirahatkan sejenak tubuh dan pikirannya yang telah berhasil melewati rentetan kejadian. Setidaknya ini diakhiri kejelasan dari Wahyu. Terlebih lagi Wahyu juga suka dengannya. Cuma untuk persahabatan bersama Lia? Akan segera di perbaiki.
    

“Bik Ona ngak berani, non saja yang langsung masuk. Tadi waktu pulang non Mita jutek, suer deh, ciyuuus.” Kata bik Ona pembantu gaul.
     “Ckck lucu deh si bibik. Aku masuk ya bik,”
     Bik Ona mengangguk. Lia diam sejenak, karena masih dalam proses berpikir kalimat apa yang akan ia katakan nanti pada sahabatnya. Terlepas betapa dia sangat mendambakan persahabatan lagi dan terlepas juga masalah yang harus mereka perbaiki.
     “Mit, harusnya aku yang salah. Bukannya ikutan menyelesaikan masalah aku malah kabur gini, aku egois... maaf.” Lia membuka percakapan. Tidak berani menatap wajah Mita yang sedang tidur namun tak disangka Mita mendongakan kepalanya di balik selimut. Sebenarnya sih nyawa dia belum benar-benar terkumpul masih di alam mimpi tapi mendengar suara Lia membuatnya semangat.
     Mita tersenyum tulus sambil memeluk Lia. “Maaf Li, gue memang bego.”
     “Tapi, itu--”
     “Udahlah ngak usah dibahas. Gue aja yang sok gengsi bersikap dingin untungnya Wahyu ngingetin. Sekarang kita sahabatan lagi, kan?”
     “Thanks ya, tentu dong. Cieee yang diingetin.”
     “Haha, Wahyu itu memang pahlawan tapi yang penting kamu tetap sahabat terbaik. Besok jalan yuk! Awas kalau ngak.” Mita kemudian mengulurkan tangan kanannya yang kemudian disambut oleh Lia.



bersambung ke... EPILOG!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebelumnya di Part 3


27 Maret 2004. Hari ini aku dan Mita terakhir camping di puncak. Awalnya aku ceroboh menghilangkan boneka ku. Mita mencari boneka itu sampai dapat, dia juga ikut menghilang dan tersesat. Tuhan... aku sekarang tidak minta boneka itu lagi, aku maunya Mita! Cuma dia sahabat yang baik. Aku tidak mau kehilangan dia.
      Lia menggeleng. Sakit. “Tidak. Mita sudah bahagia bersama Wahyu.”
      30 Maret 2004. Heii aku senaaang sekali Mita akhirnya ketemu tapi aku cemburu, dia punya teman baru cowok lagi. Namanya Wahyu. Hah! Aku juga iri sama Mita si Wahyu ngasih boneka. Dan Mita memang sahabat baik boneka itu di berikannya padaku sebagai ganti boneka yang hilang. Makasih, aku sayang Mita.
Seluruh tubuh Lia seperti di tancap ribuan paku, dia menggigit bibir bawahnya membaca berulang-ulang di kata ‘Wahyu’. Lia berbalik untuk pergi, tapi kemudian berhenti dan memandang lintasan pesawat. “Apakah harus aku tunda dulu,” serunya. “Untuk berkata maaf dan memperbaiki lagi.”

***

Mita termangu menatap foto Wahyu di tangannya. Di sekitarnya bertebaran foto-foto dirinya bersama Lia berbagai ekspresi. Kenangan akan persahabatan mereka sejak kecil bahkan tak mampu membuat Mita mengantikan sosok Lia.
     Diingatnya betapa menyenangkannya mereka dulu, saling berbagi cerita. Setelah ia menemukan lelaki bernama Wahyu semua hancur, luluh lantak tanpa akhir yang jelas. Baru kali ini Mita merasa sendirian. Dengan wajah muram di urungkan niat latihan basket pada jam istirahat dia ingin sendiri di kelas.
     Mita meraih hpnya yang sejak tadi berdering. “Kenapa? Gue ngak bisa. Kita sekarang ngak ada hubungan jadi, lo lupain gue!!”
     Di saat Mita mendinginkan pikiran dari segala macam mengenai Wahyu, murid-murid satu sekolah malah membahas kedekatannya dengan ketua OSIS itu, di balik luar kelas yang terdengar sangat jelas olehnya. Bel masuk berbunyi.



Ketika sudah sampai di depan gerbang sekolah, tak disangka Wahyu melintas di hadapan Mita. Namun Mita mempercepat langkah. Sebenarnya, ia menghindar untuk membuang perasaan lebih kepada Wahyu segera mungkin pula akan di bencinya.
     “Kok jadi cuek Mit, soal wawancara itu ngak apa kalau ngak bisa. Gue tau alasannya karena ada sesuatu yang lo simpan dari gue.”
     “Apa urusan lo sih?” Mita sewot, semakin mempercepat langkah kemudian Wahyu mengekor di belakangnya.
     “Jangan merasa terus bersalah dengan menjadi pesimis. Apalagi lo bilang lupain, buat gue menyia-nyiakan semuanya. Semua yang terlalu lama—menunggu.” Wahyu memandang Mita khawatir tapi gadis itu memutar bola matanya malas. Murid-murid yang sedang berjalan menuju lapangan parkir kontan berhenti dan menonton.
     Begitu tak ada reaksi, Wahyu segera mengandeng Mita menjauh dari keramaian. “Sungguh gue ngak ngerti maksudnya, Yu?! Udah deh minggir, lepasin tangan gue!” Mita mendorong tubuh Wahyu. Wahyu tetap bergeming disitu.
     “Oke, gue akan jujur tentang masa lalu kita.”
     Ternyata Wahyu mengandeng Mita menuju Jazz hitam yang terparkir di parkiran khusus sekolah. Tanpa banyak bicara, dia menyuruh Mita masuk. Setelah mobil itu menjauh keluar dari area sekolah, kemudian Wahyu menghentikan mobilnya di dekat lapangan komplek perumahan.



bersambung... Part 5 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebelumnya di... Suara Mimpi


“Sebenarnya aku juga seperti adikmu orang tua ku meninggal setengah tahun lalu. Setengah tahun itupun aku hidup di jiwa suram selalu menyendiri, sampai kakakku yang selisih 8 bulan lebih tua dariku tidak ku perdulikan padahal berkatnya aku bisa hidup.”
            Aku berpikir sebentar, “Kenangan manis telah berantakan aku malah mencoba ingin mengulangi lagi yang kadang buatku sakit dan takut tak peduli bagaimana. Setelah aku menyadari tentang kisahmu itu, ternyata aku masih beruntung aku sangat malu.”
            Kami saling menatap, diam dalam kesunyian.


Langit cerah  terlihat sangat mendukung buat anak-anak untuk bermain. Berulang-kali cowok ini membujuk adiknya pulang. Raut wajahku menjadi sedih jika harus berpisah sama mereka, aku mulai merasa nyaman.
            “Biarkan saja kalau dia masih mau main.” Ucapku seraya tersenyum.
            Ia balik tersenyum.
            “Hey kakak cantik! Namaku Lula dan kakakku ganteng namanya Ikmal, kakak siapa?” Cowok bernama Ikmal itu berbicara
tiba-tiba dengan suara di buat cadel seperti anak kecil. Aku tertawa untuk pertamanya setelah 6 bulan yang lalu. Humoris pikirku.
            “Hey juga Lula manis. Nama kakak Mita. Mau es
krim?”
            “Mau kak! Mau! Mau!”
            “yuk Lula, kamu mau es krim vanilla, stroberi atau coklat.”
            “Stroberi kak.”  Kata Lula yang masih kesusahan menyebut huruf ‘r’
            Lucu sekali! Seruku dalam hati. Aku sedikit berjongkok memeluk tubuh munggil Lula lalu, mencubit pipinya dengan gemas. Apakah ini namanya kebahagiaan hanya mendengar suara-suara mimpi yang selalu ada? Aku menyesal telah melupakannya. Oh, Tuhan, maafkan hambamu.


***


“Wahyu…” panggilku pelan.
            Deg. Rasanya kaku membuka suara. Aku berusaha mengatur perasaanku yang mulai tak stabil. Namun Wahyu malah menyuruhku untuk ikut duduk di sofa disampingnya.
            “Gue nggak akan pergi, sesuai permintaanmu. Tiket pesawatnya dibatalin.”
            Satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga. “Maaf.”
            Wahyu menyapu wajahku, matanya memiliki arti sendiri. Ia bangkit berdiri berjalan mendekati balkon dan mengeluarkan kembang api. Aku bertanya-tanya, ada apa? Kami kemudian melewati balkon tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa tanaman hias di samping balkon sengaja papa buatkan di lantai
dua agar bisa berhadapan langsung dengan kamar mama yang sekarang menjadi kamarku. Banyak kenangan disana.
            Aku menatap lekat kedua mata Wahyu setelah ia memberikan satu batang kembang api yang telah nyala. Sedangkan sejak tadi tangan kirinya sudah mengenggam erat jemariku.
            “Bulan desember tahun lalu kita berempat berkumpul disini.”
            Aku masih menatapnya juga masih diam, dan mendengarkan.
            “Lalu papa menyuruh kita berdua buat mengucapkan mimpi-mimpi.”
            Mimpi? Bodoh, aku baru mengerti. Kembang api inilah yang menjadi saksi kami untuk mengucapkan mimpi. Makanya, aku dan Wahyu antusias sekali memamerkan mimpi kami kepada papa-mama.
            “Ingat janji kita, tepat sekarang di bulan desember
, kita akan mengatakan mimpi lagi.” Belum sempat aku ingin berkata, Wahyu memejamkan mata, mulutnya berucap dalam hati. Ia melirikku.
            “Ayo Mit, kau juga mengucapkan mimpi. Papa-mama akan bahagia mendengarnya.”
           
“Baiklah...” Aku melakukan hal sama seperti Wahyu.
            Langit malam semakin gelap ada banyak bintang-bintang yang memancarkan cahaya.
Menit berikutnya, aku dan Wahyu sudah bersenderan di balkon. Terdengar suara merdu. Yah! Wahyu bernyanyi berusaha untuk menghangatkan suasana.
            Itulah kali pertama aku menyadari
ia benar-benar kakak yang baik.
            Aku tersenyum lebar. Sangat bahagia.




-selesai-
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts
ana's. Powered by Blogger.

About me



"Semua ditulis atas pendapat ego, filosofi sosial, dan diskusi santai. Tulisan saya tidak istimewa hanya pengingat untuk saya baca ketika sulit berekspresi berharap seperti minuman yang diseduh; menghangatkan."

Social Media

  • LinkedIn
  • Twitter
  • Gmail

Categories

Artikel (2) Cerita Bersambung (10) Cerita Pendek (12) Ceritaku (8) Opini (9) Quotes (12)

recent posts

Blog Archive

  • ►  2024 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2019 (7)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2016 (2)
    • ►  May (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2014 (6)
    • ►  December (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
  • ▼  2013 (15)
    • ▼  December (2)
      • CERPEN: Kotak Surat
      • CERBUNG: Kembali
    • ►  September (1)
      • CERPEN: Dibawah Awan (End)
    • ►  July (1)
      • CERPEN: Dibawah Awan
    • ►  May (1)
      • CERPEN: Hujan Menghapus Hitam
    • ►  April (4)
      • CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Epilog)
      • QUOTES: #7
      • OPINI: Tidak Semuanya Sejalan
      • CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Part 5)
    • ►  March (1)
      • CERBUNG: Sehari Bersama Lia (Part 4)
    • ►  February (1)
      • CERPEN: Suara Mimpi (End)
    • ►  January (4)
  • ►  2012 (10)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2011 (2)
    • ►  November (2)

Free Blogger Templates Created by ThemeXpose